IJMA' (Pengertian, Macam, Hujjah, dan Contohnya)


A.    PENDAHULUAN
Ilmu fiqh menurut istilah syar’I yaitu ilmu dengan hukum-hukum syar’I amaliah yang dipraktekkan dan dikemukakan secara mendetail. Tujuan  dan maksud ilmu fiqh yaitu menerapkan hukum-hukum syar’I terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
Ushul fiqh menurut istilah adalah ilmu, peraturan-peraturan dan pembahasan-pembahasan yang mana dengan itulah orang sampai mempergunakan hukum-hukum syar’I amaliah (yang bersangkut dengan amal perbuatan) yang menunjukkkan secara terperinci.[1]
Ilmu ini merupakan salah satu bidang ilmu keislaman yang membahas tentang pendalaman syari’at Islam dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
Untuk memahami syari’at Islam yang dibawa Rasulullah SAW, para ulama ushul fiqh mengemukakan dua bentuk pendekatan, yaitu pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan melalui pendekatan al-maqashid asy-syar’iah(tujuan syara’ dalam menentukaan hukum).
Pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan adalah untuk mengetahui dalil-dalil yang am dan khas, mutlaq dan muqayyad dan lain sebagainya. Sedangkan pendekatan al maqashid asy-syar’iah bertujuan untuk menyingkap dan menjelaskan hukum dalam berbagai kasus yang tidak ada nash (ayat atau hadisnya) secara khusus, dapat diketahui melalui beberapa metode, yaitu ijma’, qiyas, istihsan dan lain sebagainya.
Namun dalam makalah ini kami hanya akan membahas mengenai al maqashid asy-syar’iahkhususnya pada metode ijma’ yang meliputi pengertian ijma’ dan macam-macamnya, kehujjahan dan kemungkinan terjadinya, juga contoh-contoh hukum yang didasari ijma’.


B.     PENGERTIAN IJMA’
a.      Ijma’ menurut bahasa
Pengertian ijma’ secara etimologi[2] ada dua macam,yaitu:
Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, pengertian ini dijumpai dalam surat yusuf ayat 15,yaitu:
فلما ذهبوا به و اجمعواان يجعلوه في غيبت الجب
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur.
Pengertian etimologi kedua  dari ijma’ adalah العجز علي شيء (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat yunus ayat 71, yaitu:
فاجمعوا امركم وشركاءكم
makabulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu…
b.      Ijma’ menurut istilah
Secara terminologi,ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh.[3]Ibrahim Ibnu Siyar Al-Nazzam,seorang tokoh mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan ”setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu munculdari seseorang.” Akan tetapi, rumusan al-Nazzam ini tidak sepaham dengan pengertian etimologi di atas.
Imam al-ghazali,[4]merumuskan ijma’dengan “kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.umusan al-ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad., yaitu umat Islam. Tetapi harus dilakukan oleh seluruh umat awam. Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa ijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rasulullah. 
Rumusan ini, menurut al-amidi,[5]ijma’ harus dilakukan dan dihasilkanoleh seluruh umat Islam, karena suatu pendapatyang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepkati oleh seluruh umat.
Jumhur ulama ushul fiqh, sebagaimana dikutip Wahbah al-Zuhaili, Muhammad Abu Zahrah, dan ‘Abdul Wahhab khallaf,[6]merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW.pada suatu masa, setelah wafatnya rasulullahSAW. Terhadap suatu hukum syara’.”Muhammad Abu Zahrah menambahkan diakhir  definisi tersebut dengan kalimat: ”yang bersifat amaliyah,”hal tersebut mengandung pengertian bahwa ijma’hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan furu’ (amaliyah praktis).
C.    MACAM-MACAM IJMA’[7]
a.      Macam ijma’ berdasarkan caranya
Ditinjau dari cara menghasilkan hukumnya, ijma’ dibagi menjadi dua, yakni:
·         Ijma’qauli, yaitu ijma’ dimana para mujtahid menetapkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuan atas pendapat mujtahid lainnya. Ijma’ qauli disebut juga ijma’ qath’i.
·         Ijma’ sukuti, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah, kesepakatan yang mendapat tantangan (hambatan)  di antara mereka atau salah seorang di antara mereka tenang (diam) saja dalam mengambil suatu keputusan.Ijma’ sukuti disebut juga ijma’ dzanni.
Tentang ijma’ sukuti, ulama berbeda pendapat bolehkah ijma’ sukuti menjadi hujjah atau tidak.

b.      Macam ijma’ berdasarkan tempat dan waktunya
·         Ijma’ salaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah pada masa tertentu.
·         Ijma’ ulama Madinah, yaitu kesepakkatan para ulama Madinah pada masa tertentu
·         Ijma’ ulama Kufah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Kuffah tentang suatu masalah
·         Ijma’ Khulafaur Rasyidin, yaitu kesepakan khalifah empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) pada suatu  masalah
·         Ijma’ Ahlu Bait, yaitu kesepakatann keluarga nabi dalam suatu masalah.

D.     KEHUJJAHAN IJMA’
Jumhul ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah yang Qorh’I sebagai sumber hukumIslam yang ke-3 setelah al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan dasar kehujjahan sebagai berikut:
a.       Firman Allah surat An-Nisa’ ayat 59:[8]

$pkšr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#Í<'ré&ur͐öDF{$#óOä3ZÏB(bÎ*sù÷Läêôãt»uZs?Îû&äóÓx«çnrŠãsùn<Î)«!$#ÉAqߧ9$#urbÎ)÷LäêYä.tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ÏQöquø9$#ur̍ÅzFy$#4y7Ï9ºsŒ×Žöyzß`|¡ômr&ur¸xƒÍrù's?ÇÎÒÈ

Artinya:
Hai orang yang beriman! Taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri kamu. Maka jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul …”
Allah memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri. yang dimaksud ulil amri disini ada dua penafsiran yaitu ulil amri fiddunya adalah penguasa atau pemerintah, dan ulil amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama, sehingga dari ayat ini berarti juga memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu keputusan hukum yang disepakati mereka.
b.      Hadis Rasulullah SAW.
Beberapa hadis yang menunjukkan terpeliharanya umat dari kesalahan dan kesesatan, yaitu hadis yang saling memperkokoh dan diterima oleh umat, serta mutawatir maknanya sehingga dijadikan hujjah.
Seperti hadis Nabi berikkut ini:


Artinya:
sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan.” (H.R. Ibn Majjah: Kitab al-Fitan, No. 395)

E.     KEMUNGKINAN TERJADINYA IJMA’
Para ulama ushul fiqh klasik dan modern telah membahas persoalan kemungkinan terjadinya ijma’,[9] bahkan secara aktual ijma’itu  telah ada . mereka mencontohkan  hukum-hukum yang telah disepakati seperti kesepaktan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar seperenam dari harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada di tangan penjual.
Akan tetapi, ulama klasik lainnya, mengatakan bahwa siapayang mengatakan adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju.oleh sebab itu, menurutnya, sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah.
Sedangkan ijma’ menurut pandangan ulama ushul fiqh kontemporer, bahwa ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada suatu daerah. Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin,karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada suatu tempat.
                        Adapun sebab-sebab terjadinya ijma’ antara lain:
a.       Adanya berbagai persoalan yang dicaarikan status hukumnya, sementara didalam al-Qur’an dan as-Sunnag tidak ditemukkan hukumnya
b.      Karena al-Qur’an atau as-Sunnah sudah tidak akan diturunkan lagi
c.       Pada masa itu lebih mudah mengkkoordinasikan kmujtahid, karena jumlahnya tidak terlalu banyak dan wilayahnya belum begitu luas
d.      Perpecahan dan perselisihan antar mujtahid sangat kecil, sehingga masikh mudah mencapai kesepakatan.[10]

F.     CONTOH-CONTOH KASUS HUKUM YANG DIDASARI IJMA’
Diantara kasus hukum yang kenjadikkan ijma’ sebagai dasar hukumnya adalah:
a.       Upaya pembukuan al-Qur’an yang dilakukan pada masa Kholifah Abu Bakar As Shidiq r.a.
b.      Pengangkatan Abu Bakar As-Shidiq sebagai kholifah menggantikan Rasulullah SAW.[11]
c.       Menjadikan as Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua setelahal Qur’an. Para mujtahid bahkan umat Islam seluruh dunia sepakkat menjadikan as Sunnah sebagai sumber hukum Islam


G.    KESIMPULAN
Dari ppemaparan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya adalah:
·         Pengertian ijma’ menurut bahasa adalah kesepakatan atau konsensus. Sedangkan pengertian ijma’ menurut istilah adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Rasul terhadap suatu hukum syara’ untuk suatu peristiwa (kejadian).
·         Macam-macam ijma’ menurut suber hukumnya ada dua, yakni ijma’ qauli dan ijma’ sukuti. Macam-macam ijma’ berdasarkan waktu dan tempatnya antara lain, ijma’ sahaby, ijma’ ulama Madina. Ijma’ ulama Kufah, ijma’ Khulafaur Rasyidin dan ijma’ Ahlul Bait.
·         Kehujjahan ijma’ berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah

DAFTAR PUSTAKA


Khallaf, Abdul Wahab, 1992, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Rineka Cipta
Al-Ghazali, Abu Hamid, 1983, Al Mustashfa Si ‘Ilm Al Ushul, Beirut: Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah
Al-Zuhaili, Wahab, 1986, Shul Al Fiqh Al Islami, Beirut: Dar Al Fikr
Al-Amidi, Saif Aldin, 1983, Al Ihkam Fi Ushul Al Ahkam, Beirut: Dar Al Fikr
Nasrun Haroen, 2001, ushul fiqh 1, Ciputat: logos wacana ilmu
Suratno,dkk.,  t.th., Siap Ujian Nasional Fiqih, Semarang: KEMENAG PROV. JATENG
Umam, Chaerul, 2000, Ushul Fiqih 1, Bandung: PUSTAKA SETIA
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin, 2009, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah
Abdullah, Sulaiman, 2007, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika



[1] Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, (Rineka Cipta, Jakarta: 1999), cet., IV, hlm., 2
[2] Nasrun Haroen, ushul fiqh 1,(logos wacana ilmu,Ciputat: 2001),cet:III, hal., 51-52
[3]Tajuddin ‘Abdul Wahhab ibn al Subki, jam’u al jawami’ jilid II, hlm., 156
[4] Abu Hamid al-Ghazali,Al Mustashfa fi ‘ilm al ushul,(Dar al Kutub al ‘ilmiyah, Beirut: 1983)jilid 1, hal.110
[5] Saifuddinal-Amidi, al Ihkkam Fi Ashul Al Ahkam, (Dar Al Fikr, Beirut: 1983), jilid, 1 hlm., 9
[6] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, (Dar Al Fikr, Beirut: 1986) jilid 1,hal.490
[7] Chaerul Umam,dkk.Ushul Fiqh 1, (Pustaka Setia, Bandung:2000).Hal.78
[8] Umam, Chaerul, Ibid., hlm. 80-81
[9] Untuk melihat pembahasan ini lebih lanjut dapat dirujuk irsyad al-fuhul oleh al-Syaukani, hal.63-65; al-ihkam fi ushul al-ahkam, oleh al-amidi, jilid1,hal.102;al-ihkam fi ushul al-ahkam,oleh ibn hazm al-andalusi, jilid IV,hal.502;alradd ‘ala man akhadaila al-‘arab,oleh jalaluddin al-Suyuti,hal.75; al-Banani, syarh al-mahalli ‘ala jam’i al-jawami’,jilid II,hal.168;Muhammad Abu Zahrah,op.cot.,hal.210-211;dan Abu Wahhab Khallaf, op.cit., hal.48-49.
[10] Suratno, Siap Ujian Nasional Fiqih (KEMENAG PROV. JATENG,Semarang: t.th.,) hlm. 131
[11]Ibid.,
1 Komentar untuk "IJMA' (Pengertian, Macam, Hujjah, dan Contohnya)"

Sangat bermanfaat artikelnya gan...

Back To Top