[CONTOH MAKALAH] TAFSIR SURAH AL FATIHAH

Tafsir Surah Al Fatihah
A.    Pendahuluan
Al-Fatihah adalah nama surah pertama yang ditulis di dalam Alquran dan merupakan surah yang wajib dibaca dalam shalat. Selain kedudukannya yang sangat penting dalam shalat, Al-Fatihah juga seringkali dibaca menyertai doa atau permohonan, baik secara individual maupun bersama-sama.[1]
Surah Al-Fatihah juga merupakan salah satu dari beberapa surah dalam Alquran yang mempunyai keutamaan dan kelebihann yang sangat luar biasa.[2] Salah satu keutamaan tersebut adalah dengan dinamakannya Al-Fatihah sebagai Ummul kitab atau induk dari Alquran. Dinamakan demikian karena isi dari surah Al-Fatihah meliputi tujuan-tujuan pokok Alquran, yakni pujian kepada Allah, ibadah kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta menjelaskan janji-janji dan ancaman-ancaman-Nya.[3]
Surah Al-Fatihah juga dinamakan As-Sab’il-Masani karena surah ini berisi tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang setiap melaksanakan shalat. Disebut pula sebagai Surahul-Asas atau Asasul-Qur’an karena surah ini merupakan pokok Alquran dan merupakan permulaan Alquran. Dan mendapat sebutan Al-Fatihah karena menduduki urutan pertama atau merupakan surah pertama yang diturunkan secara lengkap.[4]
Untuk mengetahui keutamaan dari surah Al-Fatihah yang lebih lanjut akan dipaparkan dalam bagian pembahasan makalah ini. Selain keutamaan dari surah Al-Fatihah, dalam makalah ini juga akan membahas mengenai tafsir, hikmah, juga ikhtilaf al madzahib-nya.
B.     Pembahasan
1.      Surah Al-Fatihah Ayat 1-7 dan Terjemah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
1.      Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
2.      Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam;
3.      Maha Pemurah lagi Maha Penyayang;
4.      Yang menguasai Hari Pembalasan.
5.      Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
6.      Tunjukkanlah kami jalan yang lurus;
7.      (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[5]
2.      Mufradat (Kata Kunci)
الرَّحْمَنِ                  = Yang Maha pemurah
الرَّحِيمِ                  = Yang Maha Penyayang
رَبِّ الْعَالَمِينَ           = Tuhan semesta alam
مَالِكِ                  = Penguasa/ Yang Menguasai/ Raja/ Pengatur/ Pemilik[6]
يَوْمِ الدِّينِ              = Hari Pembalasan
نَعْبُدُ                   = Kami menyembah
نَسْتَعِينُ                = Kami memohon pertolongan
يَوْمِ الدِّينِ              = Hari  Pembalasan
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ      = Jalan yang lurus
3.      Sababun Nuzul
Surah Al-Fatihah diturunkan setelah surah Al-Muddatstir. Dilihat dari kronologis turunnya, Al-Fatihah berada pada urutan ke-5. Sedangkan dalam penulisan mushaf Utsmani menjadi surah yang pertama.[7]
Para ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan surah ini. Sebagian besar ulama ahli tafsir berpendapat bahwa surah ini termasuk surah Al-makkiyah yakni surah yang turun di Makkah. Sebagaimana yang dinukil oleh Abuddin Nata mengenai pendapat Imam Abi al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wakhidiy al-Naysaburi dalam kitab Asbab al-Nuzul, sebagai berikut:
“… dari Ali bin Abi Thalib as, berkata bahwa Fatihah al-kitab (surah Al-Fatihah) diturunkan di Mekkah dari perbendaharaan yang terdapat si bawah Arasy”[8]

Sementara itu ada juga yang berpendapat bahwa surah ini termasuk surah yang diturunkan di Madinah. Mengenai ini, al-Husain bin al-Fadhil berpendapat bahwa pada setiap orang alim terdapat ampunan. Dan pendapat ini termasuk pendapat yang tergesa-gesa dari mujtahid.[9]
Selanjutnya ada pula yang berpendapat bahwa surah Al-Fatihah diturunkan dua kali, di Mekkah dan di Madinah. Hal ini bertujuan untuk memuliakan surah tersebut. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa surah ini sebagian diturunkan di Mekkah dan sebagian lagi di Madinah. Namun pendapat yang terakhir ini termasuk pendapt yang aneh (gharib jidan).
Dari berbagai pendapat mengenai tempat diturunkannya surah Al-Fatihah, tidak terdapat keterangan menganai sebab-sebab atau peristiwa yang menyertai turunnya surah tersebut. Tidak pula ditemukan dalam situasi dan kondsi seperti apa surah ini turun, serta pada tahun berapa tepatnya surah ini turun.[10]
4.      Tafsir (Penjelasan)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ  (1)
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
Menurut kaidah bahasa Arab, setiap huruf jar mempunyai muta’allq (tempat bergantungnya makna). Ayat ini dimulai dengan huruf jar  ب. Hal ini menunjukkan ada fi’il (kata kerja) yang dibuang sebelum huruf tersebut. Ada dua kemungkinan fi’il yang dibuang sebelum huruf jar tersebut, yaitu bermakna khabariyah (berita) dan bermakna insya’iyyah (perinyah). Jika mu’allaq-nya dalam bentuk khabariyah, maka berarti orang yang membaca basmalah menginformasikan bahwa dia memulai pekerjaannya dengan menyebut nama Allah. Dan jika dalam bentuk insya’iyyah, maka berarti Allah menyuruh hamba-Nya agar pekerjaan itu dimulai dengan menyebut nama-Nya.[11]
Seruan “dengan menyebut nama Allah,” merupakan cermin pengapdian kepada Allah. Dalam bahasa Arab, kalimat itu juga merupakan ungkapan dari pihak yang membaca bahwa dia mengawali tindakannya dengan menyebut nama Allah, agar tindakan itu berawal dari dan dilindungi oleh-Nya.[12]
Bisa juga diartikan kekuatan pada diri pembacanya untuk melakukan suatu pekerjaan adalah dari Allah. Jika tidak ada Allah, maka tidak ada kekuatan pada dirinya. Jika tidak ada pertolongan dari Allah maka mustahil dia melakukan perbuatan tersebut.
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2)
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Ayat ini merupakan pujian kepada Allah karena Dia memiliki semua sifat kesempurnaan dan karena telah memberikan berbagai kenikmatan, baik lahir maupun batin. baik bersifat keagamaan maupun keduniawian. Di dalam ayat itu pula, terkandung perintah Allah kepada para hamba untuk memuji-Nya. Karena hanya Dialah satu-satunya yang berhak atas pujian. Dialah yang menciptakan seluruh makhluk di alam semesta. Dialah yang mengurus segala persoalan makhluk. Dialah yang memelihara semua makhluk dengan berbagai kenikmatan yang Dia berikan. Kepada makhluk tertentu yang terpilih, Dia berikan kenikmatan berupa iman dan amal saleh.
Seiap pujian yang baik itu hanyalah bagi Allah. Sebab, Dialah sumber terciptanya semua makhluk. Dialah pengatur dan piñata semesta. Dan Allah pula yang memberikan ilham kepada manusia mengenai hal-al yang baik dan maslahat untuk kepentingan mereka. Karenanya, segala puji dan syukur harus dipanjatkan kepada Allah atas nikmat-nikmat yang telah Dia berikan.[13]


الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3)
“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Kedua kata tersebut menggambarkan sifat Allah. Allah menuturkan dua sifat ini adalah untuk menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya bahwa pemeliharaan Allah itu berdasarkan kasih sayang  dan budi baik. Hal itu terbukti pada nikmat yang banyak dianugrahkan kepada seluruh mahluk.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4)
“Yang menguasai di hari Pembalasan”
Dalam ayat ini, terdapat dua macam qiraat. Ashim, al-Kisa’i, dan Ya’qub membacanya dengan  huruf mim dibaca panjang (mad). Sedangkan para qari yang lain membacanya dengan huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski bisa dibaca dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian ulama menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik  bermakna Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada.  Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah SWT.
Kalimat Maliki yaumid-din disebut setelah Ar-rahmanir-rahim, seolah-olah menunjukkan adanya nacaman setelah anjuran. Disamping itu juga untuk menunjukkan kepada kita bahwa Allah mendidik hamba-Nya dengan kedua metode tersebut. Allah bersifat Pemurah dan Penyayang sekaligus berkuasa untuk memberikan pembalasan atas setiap apa yang dilakukan oleh manusia.[14]
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5)
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah membatasi penyembahan atau ibadah hanya kepada Diri-Nya semata. Dengan ayat tersebut, kita pun harus memutuskan bahwa ibadah hanyalah satu-satunya kepada Allah. Tidak boleh ibadah tersebut dikait-kaitkan dengan selain Allah. Ibadah juga merupakan bentuk ketundukan manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai perintah dan larangan-Nya.
Dengan ditempatkannya kalimat “permintaan tolong” (نَسْتَعِينُ) setelah kalimat “penyembahan” (نَعْبُدُ) juga merupakan bentuk pengajaran Allah kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya terlebih dahulu. Setelah kita beribadah kepada-Nya, barulah kita pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan kata lain, sudah selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia terlebih dahulu mengerjakan apa yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika seseorang meminta segala sesuatu terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan.[15]
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6)
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus,”
Allah telah mengajarkan kepada kita untuk memohon hidayah kepada-Nya, untuk dijadikan sebagi penolong didalam mengalahkan hawa nafsu, setelah kita melakukan upaya optimal atas apa yang kita kerjakan dengan mengikuti garis-garis syari’at Allah.
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Ayat ini merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat sebelumnya tentang apa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ). Jadi, yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”. Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri anugerah kepada mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka dalam Islam, sehingga mereka mati tetap dalam keadaan Islam.
5.      Hukum Membaca Al-Fatihah dalam Shalat
Surah Al-Fatihah mengandung pokok-pokok tujuan Alquran secara ijmal (global) yang kemudian diperinci dengan berbagai keterangan dalam ayat-ayat yang terdapat pada surah-surah berikutnya.
Di dalam Al-Fatihah terkandung masalah-masalah tauhid dan janji Allah bagi orang-orang yang memegang teguh prinsip tauhid berupa pahala yang baik, serta ancaman Allah bagi orang-orang yang ingkar dan tidak memedulikan ajaran tauhid dengan azab dan siksa yang pedih. Al-Fatihah juga mencakup berbagai penjelasan jalan kebahagiaan yang dapat pengantar hamba-hamba Allah menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Surah Al-Fatihah juga mengandung berbagai kisah yang menceritakan orang-orang yang mendapat petunjuk dan berjalan di atas garis-garis Allah, yakni orang-orang yang hidup bahagia di dunia dan akhirat.  Juga memeberitahukan orang-orang yang tersesat atau melanggar batas-batas yang telah ditentukan Allah dan mengesampingkan syariat Allah tanpa perhatian sama sekali.[16]
Al-Fatihah merangkum esensi Alquran, dan esensi Islam. Itulah mengapa Al-Fatihah menjadi surah yang paling tepat untuk menjadi rukun shalat. Dan karena shalatlah surah Al-Fatihah mendapat peran yang sangat penting dalam peribadatan dan kehidupan Islam. Al-Fatihah menjadi rukun shalat berdasarkan pada sabda Nabi:
“Shalat seseorang yang di dalamnya tidak dibaca ummul kitab, tidak sah, (dan beliau mengulangi kata ini tiga kali) tidak sah, tidak sah.”[17]

Pendapat bahwa Al-Fatihah merupakan salah satu dari rukun shalat telah disepakati oleh jumhur ulama yang mencakup Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hanbali, membaca Al-Fatihah dalam shalat hukumnya wajib. Berbeda dengan Mazhab Hanafi yang tidak mewajibkan membaca surah Al-Fatihah dalam shalat, yang berarti boleh diganti dengan surah lain. Yang mereka jadikan hujjah adalah QS. Al-Muzzammil ayat 20, yang artinya:
“Maka bacalah apa-apa yang mudah dari Alquran.”
Ayat ini jelas menunjukkan, boleh menggantiAl-Fatihah dengan surah yang lainnya, yang mudah dibaca waktu shalat. Namun tetap lebih afdhal membaca Al-fatihah.[18]
6.      Ikhtilaf Al Madzahib Terkait Basmalah
Surah Al-Fatihah berfungsi sebagai prolog atau pembuka yang berisi rangkuman dan ringkasan yang padat mengenai keseluruhan isi Alquran.[19]
Terdapat beberapa perbedaan pendapat  di kalangan para ulama terkait bacaaan basmalah. Sebagian sahabat seperti Abu Hurairah, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan para tabi’in seperti Said Ibnu Jubair, ‘Atha’, Az-Zuhri dan Ibnu Mubarak serta ulama Mekah dan ahli Alquran seperti Ibnu Katsir, juga sebagian ahli Qira’at Kufah dan ahli fiqhnya seperti ‘Asim Al-Kisa’iy, Imam Asy-Syafi’I dan Imam Hambali berpendapat bahwa basmalah itu termasuk salah satu ayat dari surah Al-Fatihah.[20]
Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
a.       Ijma’ para sahabat dan orang-orang sesudahnya. Mereka sepakat untuk meletakkan basmalah di awal setiap surah, kecuali surah    At-Taubah.
b.      Terdapat hadis-hadis yang menyebutkan masalah tersebut. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang diterima dari Anas Ibnu Malik. Anas ra. Mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw.  pernah bersabda, “Tadi telah diturunkan kepada saya sebuah surah.” Kemudian Rasulullah saw. membacakan Bismillahir-rahmanir-rahim.
Juga pada hadis yang diriwayatkan oleh Daruquthni dari Abu Hurairah, bahwa Rasululah saw. pernah bersabda, “JIka kalian membaca Al-hamdu lillah (surah Al-Fatihah), maka bacalah (Bismillahir-rahmanir-rahim) lebih dahulu, karena surah ini adalah ummul Quran dan sab’ul masani, sedangkan Bismillahir-rahmanir-rahim adalah salah satu dari ayat-ayat surah Al-Fatihah.
c.        Seluruh kaum muslim telah ijma’ bahwa apa yang telah terdapat di dalam mushaf adalah kalamullah. Sedang basmalah ada di antaranya. Karenanya, wajib menjadikannya sebagai salah satu bagian darinya.
Berbeda dengan ulama di atas, ulama berikut berpendapat bahwa basmalah bukan merupakan bagian dari surah Al-Fatihah. Ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Malik dan para ulama Madinah, kabilah Auza’iy, sebagian ulama Syam, Abu Umar dan Ya’qub (meduanya termasuk ahli Qurra’ Basrah), yang pendapat mereka ini dianggap paling sahih menurut mazhab Abu Hanifah. Menurut mereka, basmalah merupakan ayat yang terlepas (sendiri) dan diturunkan untuk menjelaskan awal surah serta memisahkan antara surah satu dengan surah yang lain.
            Ada juga sahabat yang berpendapat bahwa basmalah asalnya bukan bagian dari Alquran. Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama mazhab Hanafi. Dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat pendapat tersebut adalah hadis riwayat dari Anas bin Malik yang mengatakan bahwa ia telah melakukan shalat di belakang Nabi Muhammad saw., Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka membuka bacaan surah Al-Fatihahdengan kalimat Al-hamdu lillahi rabbil-‘alamin. Mereka tidak mengawali dengan bacaan Bismillahir-rahmanir-rahim, baik di awal surah Al-Fatihah maupun awal surah lainnya.
C.    Kesimpulan
Surah Al-Fatihah memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Selain menjadi surah pembuka dalam Alquran, surah ini juga menggambarkan isi keseluruhan Alquran.
Surah Al-Fatihah mengandung pokok-pokok tujuan Alquran secara ijmal (global) yang kemudian diperinci dengan berbagai keterangan dalam ayat-ayat yang terdapat pada surah-surah berikutnya. Pokok-pokok tersebut meliputi aspek aqidah, akhlak, hukum atau syari’at dan sejarah.
Dalam ayat pertama sampai keempat mengandung ajaran mengenai aqidah dan akhlak. Dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan, hanya Allah yang mengatur alam semesta ini dan kemestian manusia meyakini bahwa Allah akan menghukum manusia dengan seadil-adilnya kelak di hari pembalasan.
Oleh karena itu, manusia diperintahkan agar bersyukur dan memujinya serta secara tidak langsung diajarkan pula agar manusia tidak membanggakan diri atau takabur, sebagaimana Allah menyebutkan kekuatan dan kekuasaan-Nya.
Ayat lima sampai tujuh menggambarkan syari’at atau hukum dan sejarah masa silam. Dalam ayat enam dan tujuh tergambar ajaran tentang keharusan beribadah kepada Allah. Ibadah tersebut mencakup segala aspek hukum dan aktivitas manusia di dunia. Sedangkan ayat tujuh menunjukkan sejarah umat dan nabi-nabi terdahulu.

DAFTAR PUSTAKA
                                      , Alquran dan Terjemanya Mushaf Aminah, (Jakarta: Al Fatih, 2012)
Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Terjemah: Anwar Rasyidi, dkk., (Semarang: Karya Toha Putra, 2012)
Chaer, Abdul, Perkenalan Awal dengan Al-Quran, (Jakarta: Runeka Cita, 2014)
Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam, Penerjemah: Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002)
Halim, Muhammad Abdul, Memahami Al-Quran; Pendekatan Gaya dan Tema, Terjemah: Rofik Suhud, (Bandung: Marta’, 2002)
Halim, Muhammad Abdul, Memahami Al-Quran; Pendekatan Gaya dan Tema, Terjemah: Rofik Suhud, (Bandung: Marta’, 2002)
Islam, Mujaddidul dan Jalaluddin al-Akbar, Keajaiban Kitab Suci Alquran, (tnp kota: Delta Prima Press, 2010)
Lawrence, Bruce, Biografi Al-Quran, Terjemah: Ahmad Asnawi, (Jogjakarta: Diglossia Media, 2008)
Nata, Abuddin, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010)
Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an; Kajian Tematik Atas Ayat-ayat HUkum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Penamedia, 2005), Cet. 3
Yusuf, Kadar M., Tafsir Ayat Ahkam; Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum, (Jakarta: Azam, 2011)

                                                  

[1] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Penerjemah: Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 3, hlm. 96
[2]  Mujaddidul Islam dan Jalaluddin al-Akbar, Keajaiban Kitab Suci Alquran, (tnp kota: Delta Prima Press, 2010), hlm. 185
[3]  Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Terjemah: Anwar Rasyidi, dkk., (Semarang: Karya Toha Putra, 2012), hlm. 1
[4] Ibid.
[5]                               , Alquran dan Terjemanya Mushaf Aminah, (Jakarta: Al Fatih, 2012), hlm. 1
[6]  Muhammad Abdul Halim, Memahami Al-Quran; Pendekatan Gaya dan Tema, Terjemah: Rofik Suhud, (Bandung: Marta’, 2002), hlm.35
[7] Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam; Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum, (Jakarta: Azam, 2011), hlm. 1
[8] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), cet. 4, hlm. 17-18
[9] Ibid., hlm. 19
[10] Ibid., hlm. 19
[11] Kadar M. Yusuf, Op.Cit., hlm. 4
[12]  Muhammad Abdul Halim, Op.Cit., hlm.32
[13] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Op.Cit., hlm. 12
[14] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Ibid., hlm. 14
[15]  Kadar M. Yusuf, Op.Cit., hlm. 8-9
[16]  Ahmad Mustafa Al-Maragi, Op.Cit., hlm. 2
[17] Muhammad Abdul Halim, Op.Cit., hlm.39
[18] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Op.Cit., hlm. 15
[19] Abdul Chaer, Perkenalan Awal dengan Al-Quran, (Jakarta: Runeka Cita, 2014), hlm. 34
[20]  Ahmad Mustafa Al-Maragi, Op.Cit., hlm. 5-6
0 Komentar untuk "[CONTOH MAKALAH] TAFSIR SURAH AL FATIHAH"

Back To Top