PENEGAKAN HUKUM DISERTAI MORALITAS, AKANKAH TERCAPAI KESETARAAN KEDUDUKAN DI DALAM HUKUM?


PENEGAKAN HUKUM DISERTAI MORALITAS, AKANKAH TERCAPAI KESETARAAN KEDUDUKAN DI DALAM HUKUM?

PENDAHULUAN

Hak asasi manusia (HAM) dalam UU nomor 39 Tahun 1999 didefinisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan oleh setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.

HAM merupakan hak mendasar yang ada pada setiap diri individu yang tidak boleh dicabut atau dikurangi oleh siapapun. Salah satu HAM yang harus dilindungi adalah hak atas kesetaraan kedudukan di dalam hukum. Setiap individu haus di perlakukan secara sama di dalam hokum, tidak boleh ada pembedaan perlakuan baik dia rakyat jelata maupun mereka yang bertahta.

Seperti yang kita tahu, dewasa ini banyak pemelintiran hukum dengan moralitas sebagai “kambing hitamnya“ yang mengakibatkan ketimpangan kedudukan di dalam hukum. Lalu, jika moralitas ditiadakan keikutsertaannya dalam penegakan humun, apakah akan tercapai kesetaraan yang kita harapkan, atau justru malah memperkeruh proses penegakan hukum itu sendiri?

PERAN MORALITAS DALAM HUKUM DAN KESETARAAN KEDUDUKAN


Hukum merupakan seperangkat aturan mengenai apa yang benar dan salah, yang diakui oleh suatu pemerintahan baik tertulis maupun tidak, dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya. Hukum sebagai suatu aturan yang mengikat dan sesuai kebutuhan masyarakat yang menyeluruh harus mencakup tiga unsur, yakni kewajiban, moral dan aturan. 

Hukum harus ada sebagai penghubung antara satu individu dengan individu yang lain dalam suatu masyarakat agar tercapai rasa aman dan damai. Masyarakat dengan hukum tidak dapat dipisahkan, seperti disebutkan dalam sebuah adagium ibi society ibi ius, yang artinya dimana ada masyarakat disana ada hukum. Terciptanya hukum bukan tanpa tujuan, melainkan diantaranya agar tercapai keadilan.

Berbicara mengenai keadilan dalam hukum, maka tidak luput dari pembahasan mengenai hak atas kesetaraan kedudukan di dalam hukum. Maka dapat dikatakan bahwa kesetaraan kedudukan di dalam hukum juga merupakan tujuan dari hukum.

Hak atas kesetaraan kedudukan di dalam hukum merupakan satu diantara beberapa HAM di Indonesia yang tercantum dalam UUD ′45 pasal 28. HAM merupakan hak mendasar yang tidak boleh dicabut maupun dikurangi, maka hak atas kesetaraan di dalam hukum juga tidak boleh dicabut maupun dicederai.

Jika dalam praktiknya penegakan hukum sudah cacat, maka secara otomatis kesetaraan kedudukan dimata hukum juga ikut tercederai, yang berarti pencederaan juga terhadap hak asasi manusia (HAM).

Melihat kembali ketiga unsur yang harus ada dalam hukum tadi, terdapat kata moral. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia, apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral merupakan produk dari budaya dan Agama. Jadi moral adalah tata aturan norma-norma yang bersifat abstrak yang mengatur kehidupan manusia untuk melakukan perbuatan tertentu dan sebagai pengendali yang mengatur manusia untuk menjadi manusia yang baik. 

Dari beberapa definisi yang telah saya paparkan diatas mengenai moral, lebih menunjukkan sikap subjektif dan ketidak pastian. Hal ini sangat berbeda dengan norma hukum yang bersifat objektif dan pasti. 

Kebanyakan orang berpendapat bahwa moral atau moralitas tidak dapat dipisahkan dari hukum. Bahkan ada pepatah roma yang mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya hukum jika tidak disertai moralitas?)

Jika ada pertanyaan seperti itu, “apa jadinya hukum jika tidak disertai moralitas? “ maka jawaban saya adalah hukum akan menjadi lebih baik. Tidak akan ada lagi ketimpangan dalam penegakan hukum. 

Seharusnya dengan adanya adagium ini penerapannya akan mengarah pada terciptanya keadilan dan kebenaran yang absolute, bukan malah disalah gunakan demi kepentingan opnum-opnum tertentu yang bukan merupakan kehendak daripada hukum yaitu berupa terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat.

Harapan dari adagium ini adalah agar rakyat biasa mendapat keadilan ketika telah melakukan hal yang terlarang oleh hukum semisal saat terpaksa mencuri karena keterdesakan ekonomi diberikan hak yang kiranya dapat meringankan hukumannya.

Namun pada praktiknya, adagium ini malah diberlakukan bagi para penjahat “kelas kakap“ semisal koruptor. Sebagai contoh diterapkan karena kasihan kepada para pelaku karena sebelum di penjara mereka sudah mendapatkan hukuman sosial hingga menyebabkan penurunan drastis bagi kehidupan dan penghidupan mereka. Maka keterlibatan moral pada penegakan hukum hanya akan memberikan kesempatan bagi opnum-opnum yang tidak bertanggung jawab untuk menggunakan alasan moral untuk memelintir prinsip-prinsip hukum. Hingga mengakibatkan ketidak setaraan kedudukan di dalam hukum.

Kesetaraan kedudukan dimata hukum hanya akan tewujud apabila para penegak hukum bersikap tidak pandang “bulu“ dalam menegakkan hukum. Tidak peduli orang melarat maupun ningrat, harus tetap diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Dengan adanya moralitas dalam penegakan hukum, hak atas kesetaraan kedudukan di dalam hukum akan sulit untuk tidak tercederai. Karena dengan alasan moralitas, maka yang terjadi adalah rasa kasihan kepada para penjahat “kelas kakap“ tadi sehingga perlu dicarikan alasan untuk mengurangi dan melunakkan hukuman mereka seperti alasan kesehatan atau pemberian berbagai fasilitas yang memudahkan lainnya.

Namun, saat moralitas ikut andil dalam hukum membuat kekuatan hukum melunak bagi penjahat “kelas kakap“, dilain pihak hukuman bagi rakyat biasa justru makin dipertegas, alasannya karena sebagai pelajaran bagi mereka. 

Dengan meniadakan moralitas dalam penegakan hukum, akan menjadikan penegak hukum, dalam benak kita sebagai subjek hukum yang kejam. Hal ini tidak akan terjadi karena apa yang dilakukan oleh penegak hukum harus berdasarkan aturan undang-undang. Semua yang dilakukan oleh penegak hukum harus sesuai dengan keputusan rakyat, yang dalam hal ini diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pembuat dekaligus pengawas penegakan hukum itu sendiri.

Maka dari itu DPR harus lebih pandai membuat undang-undang yang pro rakyat, yang sesuai dengan keadaan rakyat, dan lebih memihak rakyat. Yang dengan undang-undang terebut akan tercapai tujuan dari hokum yaitu keadilan, kedamaian dan keselarasan. Hingga tidak ada lagi ketimpangan perlakuan bagi sesame individu di dalam hokum.

PENUTUP

Dari penjelasan saya diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa keterlibatan moralitas dalam penegakan hokum tidak membantu proses penyetaraan kedudukan di dalam hokum, bahkan malah memperparah keadaan. Dengan dalih moralitas, banyak subjek hokum yang melakukan pemelintiran terhadap hokum, dengan melunakkan hukum bagi kasta masyarakat tertentu dan mempertegas hokum bagi kasta lainnya.

Jadi kesimpulan saya adalah tidak perlu ada oralitas dalam penegakan hokum. Kita dapat meletakkan moralitas pada saat pembuatan undang-undang. Para penegak hokum bekerja sesuai dengan undang-undang yang kita buat dengan diwakili oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), maka kita harus membuat undang-undang yang sesuai dengan keadaan rakyat, dan tentu saja dengan harapan undang-undang tersebut dapat membawa keadilan dan kedamaian.

DAFTAR PUSTAKA

Stramel, James S. Cara menulus Makalah Filsafat. Trans. Agus Wahyudi. Yogyakarta: Pusutaka Pelajar, 2009
Wardaya, Selamet Marta, Dkk. Hak Asasi Manusia, ed.Muladi (Bandung: Refika Aditama, 2009)
_________. UUD ′45 Sebelum dan Setelah Amandemen, Bandung: Nuansa Aulia, 2009
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia pustaka Utama, 2001
Wiko, Garuda. Hukum dan Politik di Era Reformasi, Surabaya: Srikandi, 2006
Lubis, Todung Mulya. Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
Tag : ARTIKEL, HUKUM
0 Komentar untuk "PENEGAKAN HUKUM DISERTAI MORALITAS, AKANKAH TERCAPAI KESETARAAN KEDUDUKAN DI DALAM HUKUM?"

Back To Top