[MAKALAH] SYARAT-SYARAT DAN ADAB MUFASSIR

 SYARAT-SYARAT DAN ADAB MUFASSIR


 SYARAT-SYARAT DAN ADAB MUFASSIR

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang

Kita tahu, bahwa tafsir merupakan salah satu jalan untuk memahami kitab suci Al-Quran yang diturunkan Allah kapada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup manusia agar selamat baik ketika di dunia sampai di akhirat kelak. Sangat mustahil seseorang akan paham Alqur’an secara kamilatausempurnakalau tidak tahu tentang tafsirnya. Serangan terhadap Al-Quran pun beramai-ramai dilakukan oleh para orientalis Barat. Mereka berusaha untuk mengkritisi serta meragukan otentisitas dan kesakralan Al-Quran dengan berbagai ragam cara. Kita tentu tidak akan heran jika orang yang melakukan penyerangan terhadap Al-Quran tersebut berasal dari kalangan Yahudi dan Kristen. Akan tetapi, menjadi sangat tragis dan ironis jika penyerangan itu juga dilakukan oleh kalangan yang menyatakan dirinya sebagai muslim; bahkan tak jarang hal ini berkembang dari dan di perguruan tinggi negeri yang memakai embel-embel Islam.

Ajakan untuk melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap Al-Quran semakin sering terdengar. Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap ayat-ayat yang dipandang tidak lagi relevan dengan konteks zaman ini atau dapat menimbulkan problem dengan penganut agama lain. Akan tetapi, apakah setiap orang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran? Lantas, siapakah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran dan apa saja yang harus dipenuhi olehnya? Tulisan ini mencoba untuk menjelaskannya.

B.       Rumusan masalah

Berdasarkan judul yang telah dipilihkan. Mengingat cakupan permasalahan tentang penafsiran al-Qur an sangatluas, maka penulis perlu membatasi masalah-masalah pada makalah ini ke dalam beberapa rumusan masalah, diantaranya:

1. Apa pengertian mufassir dan syarat mufassir ?
2. Apa sajakah syarat-syarat mufassir ?
3. Apa sajakah adab-adab seorang Mufassir?
4. Ilmu apa sajakah yang harus dimiliki seorang mufassir ?

C.      Tujuan penulisan

Pada dasarnya tujuan penulisan karya tulis ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas mata kulian Ilmu Tafsir1 semester ganjil.

Adapun Tujuan khusus penyusunan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengertian mufassir dan syarat mufassir.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat mufassir
3. Untuk mengetahui adab-adab mufassir.
4. Untuk mengetahui ilmu apa sajakah yang harus dimiliki seorang mufassir.

BAB II
LANDASAN TEORI

A.      Pengertian Mufassir


Secara bahasa mufassiradalah bentuk isim fa’il dari kata Fassara yang artinya menafsirkan atau menjelaskan. Kemudian di ikutkan wazan isim fa’il Mufa’ilunmenjadi Mufassirunyang artinya orang yang menafsirkan, mengomentari, interpretasi.

Sedangkan menurutistilah, Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.

Abu Muhammad FH, menjelaskan dalam Kamus Istilah Agama Islam, Mufassiradalah orang yang menerangkan makna ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur an. 

B.       Pengertian Syarat Mufassir


Syarat adalah sesuatu yang harus dikerjakan agar sesuatu yang dikerjakan menjadi sah hukumnya. 
Sedangkan Pengertian syarat mufassir adalah jalur serta rel sahnya seseorang menafsirkan Al-Qur’an. syarat amat sangat urgen bagi siapa pun yang ingin menafsirkan sebuah ayat apalagi menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan. Setiap disiplin ilmu pengetahuan membutuhkan sebuah syarat sebagai penunjang utama dalam langkah menuju objektif. 

Peran syarat dalam suatu hal sangatlah penting karena al-Qur an merupakan Kitab pedoman umat Islam dengan menyandang kata “suci” tidak boleh sembarang orang menafsirkan jika tidak memenuhi persyaratanya karena dampaknya akan sangat fatal jika terjadi kesalahan mengingat esensi al_qur an adalah sebagai pedoman hidup umat Islam agar selamat didunia dan akhirat.

Seorang mufassir al-Quran perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dan berbagai bidang ilmu pengetahuan secara mendalam. Untuk menjadi mufassir yang diakui, maka harus memiliki kemampuan dalam segala bidang. Para ahli telah memformulasikan tentang syarat-syarat dasar yang diperlukan bagi seorang mufassir. 

Orang yang dapat menafsirkan al-Quran hanya orang yang memiliki keahlian dan menguasai ilmu tafsir (Ilmu pengetahuan tentang al-Quran), sedangkan orang yang belum banyak mengerti tentang ayat dan tata cara menafsirkan al-Quran dan tidak menguasai ilmu Tafsir tidak diperbolehkan menfsirkan al-Quran, hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kitab suci ditafsirkan hanya sesuai dengan hawa nagsu keinginan mufassir, sehingga tidak sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allah dalam firman-Nya. 

Larangan menafsirkan al-Quran tanpa dasar Ilmu Pengetahuan tentang al-Quran berdasarkan surat al-A’raf:33

“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang Nampak atau yang sembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar dan (mengharamkan) karena mempersekutuan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) kamu mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.”

Penjelasan larangan menafsirkan al-Quran tanpa ilmu pengetahuan adalah terletak pada kata “dan (mengharamkan) kamu mengada-adakan” yang di athof  kan kepada hal-hal yang diharamkan sebelum lafadz ini. Oleh sebab itu mengatakan sesuatu mengenai kitab Allah tanpa dasar pengetahuan termasuk sesuatu yang diharamkan.

Selain itu terdapat Hadits Nabi yang juga melarang menafsirkan al-Quran tanpa didasari ilmu pengetahuan (terkait dengan al-Quran) dengan pemberian ancaman masuk neraka.

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار, قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya:
Dari Said Bin Jubair, dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa yang mengatakan tentang al-Quran tanpa dasar ilmu pengetahuan, maka tempat yang paling layak baginya adalah neraka (HR.a-Tirmidzi)

Asbabul wurud dari Hadits ini terjadi ketika pada zaman nabi banyak para sahabat yang melakukan penafsiran tanpa ada dasar-dasar ilmu pengetahuan. Maksud dari hadits ini adalah bahwa bagi yang menafsirkan al-Quran tanpa didasari ilmu pengetahuan akan memberikan peluang bagi orang bodoh dan orang-orang yang mempunyai niat tidak baik untuk melakukan penyelewengan terhadap al-Quran. Hal ini disebabkan mereka akan menafsirkan al-Quran dengan dasar nafsu yang pada gilirannya bertujuan membela pendapatnya atau bahkan sekedar membela kelompok atau madzhabnya.

BAB III
PEMBAHASAN

A.      Syarat – Syarat Mufassir


Adanya suatu persyaratan sebenarnya adalah sudah menjadi otoritas dari setiap disiplin ilmu, dalam bidang kedokteran saja seseorang tidak dperbolehkan menangani pasien jika tidak paham benar ilmu tentang kedokteran. Bagaimana jika sebuah penafsiran al-Qur’an dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak kompeten menafsirinya, maka akan terjadi sebuah kesalahan yang terus menerus diajarkan dari masa ke masa dan terus menerus menyesatkan orang yang mempelajarinya. 

Adapun persyaratan bagi seorang mufassir adalah sebagaimana dijelaskan oleh beberapa ulamaadalahsebagai berikut:
  1. Syekh Muhammad Hussein Adz-Dazhabi: Syarat bagi seorang mufassir adalah menguasai ilmu Nahwu, Ilmu sharaf, Ilmu Lughah, Ilmu Isytiqaq, Ilmu ma’ani, Ilmu Bayaan, Ilmu Badi’ Ilmu Qira’at, Ilmu Kalam, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Qashas, Ilmu Nasikh mansukh, Ilmu Hadits dan Ilmu Mauhibah (Ilmu karunia dari Allah). 
  2. Syekh Manna’ al-Qaththan: Syarat seorang mufassir dan tata cara menafsirkan adalah bebas dari hawa nafsu, memulai menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, mencari tafsir dari al-Sunnah, prndapat dari tabi’in, mengetahui bahasa Arab dengan semua cabangnya, mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan ilmu Al-Quran, dan memiliki ketajaman berpikir. 
  3. Khalid al-Sabt: Syarat bagi seorang mufassir (yang hampir semuanya mengenai bahasa Arab) yaitu harus mengetahui Fiqh al-Lughah, Hukum Kalimah, Ilmu Bayan, Ma’ani dan Badi’ Mubham dan Mufasshal, ‘Am dan Khas, Ilmu Kalam, dan Ilmu Qiraat.
  4. Imam as-Suyuti: Dalam kitabnya“al-Itqan” menyebutkan beberapa jenis ilmu yang diperlukan dalam menafsirkan al-Quran, yaitu:

  • Ilmu Lughat: Ilmu bahasa sangat penting dalam menafsirkan al-Quran, guna untuk menegetahui kosakata penjelasan mufradat-mufradat (perbendaharaan kata). Jadi tidak cukup dalam menafsirkan al-Quran kalau hanya sekedar mengetahui ilmu bahasa secara mudah. Ada kalanya suatu lafadz mengandung makna musytarak (makna ganda) sekiranya hanya mengetahui salah satu dari pengertian kata sedangkan yang lain tidak diketahui, padahal makna yang lain itu dimaksud.
  • Ilmu Nahwu: Ilmu ini sangat penting sekali, karena ilmu ini menyingkap tentang perubahan makna dan mempunyai pengertian yang lain karena perubahan I’rab nya. Semua bentuk I’rab benar-benar dikuasai agar dapat ditentukan makna yang dimaksud dalam susunan kalimat yang berbentuk berdasarkan I’rab nya. Ilmu Nahwu sangat penting karena susunan kata-katanya dapat diketahui dengan jalan pembentukan kata dab I’rab suatu kalimat.
  • Ilmu Sharaf: seorang mufassir yang diketahui tentang ilmu sharaf, berarti ia dapat mengerti tentang pembentukan kalimat, timbangan kata, sighat kata dan sifat kata-kata. Bila diketahui kata-kata yang sulit, lalau segera dikembalikan pada akar katanya serta pengertiannya. Seorang yang tidak mengetahui Ilmu Sharaf dalam menafsirkan al-Quran niscaya akan terdapat kekalahan, kekeliruan dalam menafsirkan al-Quran.
  • IlmuIsytiqaq: disebut juga dengan ilmu etimologi yaitu ilmu tentang asal usul kata. Ilmu ini digunakan untuk mengetahui dasar pembentukan akar kata yang melahirkan akar kata yang serumpun denga pengertian yang berlainan. Umpamanya setiap kata benda yang berasal dari kata yang berbeda tentu mengandung makna yang berbeda juga.
  • Ilmu Balaghah (retorika, metafora). Ilmu balaghah terdiri dari tiga macam yaitu Ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu badi’. Dengan mempergunakan ilmu ma’ani seorang mufassir dapat mengetahui keistimewaan susunan kalimat, sehingga dapat mengambil faedah dari satu segi makna yang tepa. Dan dengan ilmu bayan dapat mengetahui susunan kalimat yang khusus terutama dari segi perbedaan susunan kalimat yang menjelaskan tentang maksud suatu kalimat baik kalimat itu jelas maupun tidak jelas. Dengan menggunakan ilmu badi’dapat diketahui tentang segi-segi keindahan dari suatu kalimat.
  • Ilmu Qira’at (cara-cara membaca al-Quran), dengan ilmu Qira’at dapat diketahui pembacaan yang benar dari beberapa kandungan penafsiran dalam al-Quran.
  • Ilmu Ushuluddin, dengan Ilmu ini dapat diketahui kaidah-kaidah yang berhungan dengan sifat Allah dan pembahasan tentang iman.
  • Ilmu Ushul Fiqh, dengan mengetahui ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui dan menganalisa teantang istidhlal (pembuktian) hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran.
  • Ilmu Asbabu an-Nuzul, dengan ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui sebab dan latar belakang turunnya masing-masing ayat al-Quran.
  • Ilmu Nasikh dan Mansukh, dengan ilmu ini mufassir dapat mengetahui ayat-ayat dari al-Quran yang di nasikh kan dan di mansukh kan.
  • Ilmu Hadits, seorang mufassir yang mengetahui ilmu Hadits maka akan dibantu untuk mengidentifikasikan ayat-ayat yang mujmal dan mubham.
  • Ilmu Mubhamah, Imam asy-syuyuti mengatakan ilmu mubhamah sangat penting bagi seorang mufaasir karena ilmu ini merupakan aplikasi dari ilmu yang telah dikaji oleh mufassir untuk mengamalkannya.
  • Ilmu sains dan teknologi, ilmu ini sangat diperlukan untuk menafsirkan al-Quran, terutama dalam upaya menemukan teori-teori dibidang kedokteran, ilmu fisika, matematika. Karena di dalam al-Quran banyak ayat menyebutkan tentang alam semesta.


Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa syarat bagi seorang mufassir adalah:
  1. Mengetahui bahasa Arab dan kaidah-kaidah bahasa (ilmu tata bahasa, sintaksis, etimologi, dan morfologi), ilmu retorika (ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu Badi’), ilmu ushul fiqh (Khas, ‘Am, Mujmal, dan mufasshal). Tanpa memahami secara mendalam tentang bahasa al-Quran, maka besar kemungkinan bagi seorang mufassir akan melakukan penyimpangan (distorsi) dan kesalahan interpretasi. Jika seseorang tidak dapat memahami makna ayat, kosa kata dan idiom secara literal maka ia akan terjerumus kepada kesalahan dan menyebabkan terjadinya penafsiran yang kontroversial.
  2. Mengetahui pokok-pokok ulum al-Quran, seperti ilmu Qira’at, Ilmu asbabun Nuzl, Ilmu nasikh mansukh, Ilmu Muhkam Mutasyabih, Ilmu makkai madani, Ushul Tafsir, ilmu Qashash al-Quran, ilmu Ijaz al-Quran, ilmu amtsa al-Quran. Tanpa mengetahui kesemuanya itu seorang mufassir tidak akan dapat menjelaskan arti dan maksud ayat dengan baik dan benar.
  3. Mengetahui Ilmu sains dan teknologi untuk bisa bersaing dan menemukan teori-teori baru yang terkandung dalam al-Quran.
  4. Mengetahui Hadits-Hadits Nabi dan segala macam aspeknya. Karena Hadits-Hadits itulah yang berperan sebagai penjelas terhadap al-Quran, sebagaimana keterangan surat al-Nahl:44.
  5. Mengetahui hal ihwal manusia dan tabia’t nya, terutama dari orang-orang Arab pada masa turunnya al-Quran, agar mengerti keselerasan hukum-hukum al-Quran yang diturunkan untuk mengatur perbuatan-perbuatan mereka.


Hazim Sa’id al-Haidar menambahkan, untuk mendapatkan penafsiran yang berkualitas, selain menguasai ilmu-ilmu tersebut mufassir juga harus memahami cabang-cabang ilmu pengetahuan yang mendalam dan menyeluruh, sebagaimana berikut ini: 
  1. Memaham watak dan rasa terminology yang benar, yang sering digunakan dalam al-Quran berdasarkan atas pemakaian para ahli bahasa.
  2. Ilmu tentang prosedur yang indah (pendekatan sastra yang dipakai dalam praktik al-kalam (kefasihan berbicara dan penerapannya).
  3. Pengetahuan tentang ilmu-ilmu humaniora, filsafat ketuhanan, dan prosedur dalam evolusi bangsa-bangsa bersama perbedaan-perbedaannya, baik dalam kekuatan, kelemahan, iman, kufur, maupun kekerasan dan kelembutan.
  4. Pengetahuan tentang hidayah al-Quran untuk manusia. berkaitan dengan hal ini sahabat umar bin Khatab berkata: “kebaikan Islam tidak akan jelas jika seseorang tidak paham tentang kehidupan jahiliyyah.”
  5. Pengetahuan tentang biografi Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya terkait dengan pengetahuan dan amaliah dalam urusan agama maupun keduniaan.


Disamping  persyaratan kualifikasi dalam bidang intelektual diatas, seorang mufassir juga harus memenuhi beberapa kriteria diantaranya:
  1. Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an serta memiliki pengaruh besar terhadap jiwa pemiliknya, dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah tafsir, maka ditakwilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya, kemudian menggiringnya kepada madzhabnya yang bathil, guna memalingkan orang-orang dari mengikuti golongan golongan dan jalan petunjuk.
  2. Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
  3. Menafsirkan dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah terperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di tempat telah diuraikan di tempat lain.
  4. Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an dan penjelasnya.
  5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat dari para sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an, mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Qur’an diturunkan.
  6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur’an, sunnah maupun dalam pendapat sahabat maka sebagian besar ulama, dalam hal ini memeriksa pendapat tabi’in. 
  7. Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya.
  8. Menguasai pokok-pokok ilmu nyang berkaitan dengan Al Qur’an seperti ilmu tauhid, ilmu usul, dll.
  9. Seorang mufassir haruslah orang yang cerdas dan sehat akalnya agar tidak terjadi kekeliruan dalam menghasilkan suatu hukum. 

B. Adab- adab seorang Mufassir


Adapun adab seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur an adalah sebagai berikut:
  1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. karena seluruh amalan tergantung dari niatannya.
  2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain.
  3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
  4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
  5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
  6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian.
  7. Mendahulukan orang yang lebih utama darinya. 


Sementara itu, Imam As-Suyuthy mengatakan, “Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid‘ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya.

Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuthy di atas, Ahmad Bazawy Adh-Dhawy meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu: (a) Akidah yang lurus, (b) Terbebas dari hawa nafsu, © Niat yang baik, (d)Akhlak yang baik, (e) Tawadhu‘ dan lemah lembu, (f) Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta‘ala, (g) Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap menghindar dari perkara-perkara yang dilarang, (h) Tidak bersandar pada ahli bid‘ah dan kesesatan dalam menafsirkan, (i) Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.

Termasuk adab yang harus diperhatikan oleh mufassir adalah ia wajib menghindari perkara-perkara berikut ketika menafsirkan Al-Quran:
  1. Terlalu berani menjelaskan maksud Allah ta‘ala dalam firman-Nya padahal tidak mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak terpenuhi ilmu-ilmu yang baru boleh menafsirkan jika menguasainya.
  2. Terlalu jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti perkara-perkaramutasyâbihât. Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani membicarakan sesuatu yang ghaib setelah Allah ta‘ala menjadikannya sebagai salah satu rahasia-Nya dan hujjahatas hamba-hamba-Nya.
  3. Mengikuti hawa nafsu dan anggapan baik (istihsân).
  4. Tafsir untuk menetapkan madzhab yang rusak dengan menjadikan madzhab tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya. Akibatnya, seseorang akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat sesuai dengan akidahnya dan mengembalikannya pada madzhabnya dengan segala cara.
  5. Tafsir dengan memastikan bahwa maksud Allah begini dan begini tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang secara syar’i berdasarkan firman Allah ta‘ala, “Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS Al-Baqarah: 169). 

BAB IV
PENUTUP

A.   Kesimpulan

Dari uraian pembahasan diatas dalam makalah ini dapat kami ambil kesimpulam diantaranya sebagai berikut:
  1. Pengertian Syarat mufassir adalah jalur serta rel sahnya seorang menafsirkan Al-Qur’an, syarat amat sangat urgen bagi siapa pun yang ingin menafsirkan sebuah ayat apata lagi menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan.
  2. Kaedah keilmuan yang disyaratkan bagi seorang mufassir antara lain adalah meliputi ilmu Nahwu, Ilmu sharaf, Ilmu Lughah, Ilmu Isytiqaq, Ilmu ma’ani, Ilmu Bayaan, Ilmu Badi’ Ilmu Qira’at, Ilmu Kalam, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Qashas, Ilmu Nasikh mansukh, Ilmu Hadits dan Ilmu Mauhibah, ilmu Science dan Teknologi, ilmu-ilmu humaniora
  3. Syarat – syarat Mufassir diantaranya adalah : Berakidah yang benar, Mampu mengekang hawa nafsu, menafsirkan ayat dengan ayat terlebih dahulu, merujuk pendapat sahabat, merujuk pendapat tabi’in, menguasai bahasa Arab, dll
  4. Adab-adab Mufassir diantaranya adalah: Niatnya harus bagus, Berakhlak mulia, Mengamalkan ilmunya, Hati-hati dalam menukil sesuatu, Berani dalam menyuarakan kebenaran, tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu,


B.Saran

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan masih banyak memerlukan pembenahan. Oleh karena itu kami mengharap kepada segenap pembaca yang budiman untuk memberikan masukan baik berupa kritik maupun saran, baik secara lisan mapun secara tertulis. Kami akan dengan senang hati menerimanya. Harapan kami semoga makalah ini menjadi manfaat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Dzahabi, Muhammad Hussein at-Tafsir wa al-Mufassirun, Beirut, Maktabah al-wahbah, 2000.
Al-Haidar, Hazim Sa’id Baina al-Itqan wa al Burhan,Madinah, Dar az-Zaman, 2000
Al-Harby, Husain Bin aly Bin,Qawa’id al-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin, Riyad: Dar al-Qasim, 1996
Al-Qattan, Manna’,Mabahith fi Ulum al-Qur’an, Cairo: Maktabah al-Wahbah, 2000.
_____, Mabahith fi Ulum al-Hadits, ttp, Mansurat al-asri’ al-Hadits,1973.
_____, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an terj. Drs.Mudzakir AS, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2009
Al-Sabt, Khalid,Qawa’id al-Tafsir, Cairo: Dar Ibnu Affan, tt.
Al-Suyuti, Jalaludddin,al-Itqan fi Ulum al-Qur’an,Saudi Arabia: Majma’ Malik Fahd, tt.
Amrullah, Fahmi,lmu Al Qur’an untuk Pemula, Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008.
Bakr, Muhammad Mahmud,Asbab Rad al-Hadits,Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad Ibn as-Su’udi, tt.
Http://nadnabandi.blogspot.com/2010/05/syararat2-mufassir-dan-adabnya-ulumul.html,
Http://Gedublaks.Multiply.Com/Journal/Item/24/Studi_Tentang_Syarat-syarat-mufassir -al-quran ,
Muhammad, Abu FH, ZainuriSiroj, KamusIstilah Agama Islam (KIAI),Jakarta: PT. Albama.
Munawwir, Ahmad Warson, KamusAl_Munawwir, Surabaya : PustakaProgressif.

0 Komentar untuk "[MAKALAH] SYARAT-SYARAT DAN ADAB MUFASSIR"

Back To Top