[MAKALAH] TUGAS DAN WEWENANG PERADILAN AGAMA

tugas dan wewenang peradilan agama


TUGAS DAN WEWENANG PERADILAN AGAMA

Peradilan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia.Dua Peradilan Khusus lainya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara Islam tertentu, tidak mencakup seluuruh perdata Islam.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang ia boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam.
Dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia.

A. TUGAS-TUGAS PENGADILAN AGAMA

Tugas pokok pengadilan agama sebagai badan pelaksana kekuasaan kehakiman ialah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyesuaikan setiap perkara yang diajurkan keepadanya (ps.2 ayat (1) UU.No.14/1970), termasuk di dalamnya menyelesaikan perkara Voluntair (penjelaan ps. 2 (1) tersebut).
Sesuai dengan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 adalah : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
a. Perkawinan Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1  tahun 1974 antara lain :Ijin beristri lebih dari Satu
Pembatalan perkawinan
Perceraian karena talak dll
b. Kewarisan,wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;menurut pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989, ketiga jenis perkara diatas, termasuk kekuasaan Peradilan Agama (bagi mereka yang beragama Islam).
c. Waqaf dan shadaqah
d. Ekonomi Syariah
Salah satu kewenangan Pengadilan Agama adalah menyelesaikan sengketa ekonomi Syari’ah. Berdasarkan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa : “ pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam.” Berdasarkan ketentuan pasal 49 tersebut Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sodaqah, dan ekonomi syari’ah. Oleh sebab itu, terhituing mulai tanggal 20 Maret 2006 penyelesaian perkara ekonomi syariah menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama.
Dengan berpegang pada asas-asas proses penyelesaian perkara yang baik (A2 P3 B), hakim memeriksa perkara dengan perpedoman pada hukum acara perdata yang ada dengan sedikit penyesuaian dengan karakteristik sengketa ekonomi syari`ah. Proses peradilannya dilakukan sesuai tata cara dalam hukum acara perdata yang berlaku pada pengadialan agama.

B. KENDALA-KENDALA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI`AH MELALUI PENGADILAN AGAMA


Dalam rangka memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat harus dapat menyelesaikan kendala-kendala yang terjadi dalam Praktik peradilan penyelesaian sengketa ekonomi syari`ah, antara lain:
1. Belum adanya perangkat hukum yang memadai sebagai acuan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari`ah dalam pengadilan agama.
2. Penerapan asas sidang terbuka untuk umum dalam penyelesaian sengketa.
3. Penerapan hukum materiil dan hukum acara yang terlalu formal dan kaku.
4. Tidak adanya komunikasi timbal balik yang harmonis dan fleksibel antara hakim dengan para pihak dan diantara para pihak tidak adanya sistem negosiasi dan konsiliasi dalam proses penyelesaian sengketa.
5. Sikap, pandangan dan pendapat para advokat yang mendampingi kliennya belum tentu sejalan dengan sikap,pandangan dan pendapat pengadilan agama dalam pembaharuan paradigma peradilan yang modern, mandiri dan professional.

C. Kekuasaan relative

Kekuasaan relative diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu lingkaran, dalam perbedaannya dengan kekeuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara pengadilan Negeri Magelang dengan Pengadilan Negeri Purworejo, antara Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.
Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan Negeri Purworejo satu jenis, sama-sama lingkungan Peradilan Umum dan sama-sama pengadilan tingkat pertama.Pengadilan Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturaja satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan Peradilan Agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama.
Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 1989 berbunyi:
Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten.
Pada penjelasan Pasal 4 Ayat (1) berbunyi:
Pada dasarnya kedudukan Pengadilan Agama ada di kotamadya atau di ibukota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.
Jadi, tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah huum tertentu atau dikatakan mempunyai “yurisdiksi relatif” tertentu, dalam hal ini melipurti satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian mungkin lebih atau mungkin kurang, contoh, di Kabupaten Riau Kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi transportasi sulit.
Yurisdiksi Relatif ini mempunya arti penting sehubungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepsi tergugat.
Menurut teori umum Hukum Acara Perdata Peradilan Umum (teori tentang mengajukan gugatan), apabila penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan Pengadilan Negeri tersebut masih boleh memeriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada ekspesi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (penggugat dan tergugat) memilih untuk berperkara dimuka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati. Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas tegas dinyatakan lain. Pengadilan Negeri dalam hal ini, boleh menerima pendaftaran perkara tersebut disam ping boleh pula menolaknya.Namun, dalam praktik, Pengadilan Negeri sejak dari semula sudah tidaka berkenan menerima gugatan/permohonan semacam itu, sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya gugatan/permohonan itu diajukan.
Ketentuan umum peradilan umum tersebut berlaku juga untuk Peradila Agama sebagaimana ditunjuk oleh UU Nomer 7 tahun 1989.
Dulu, sebelum peradilan Agama mempunyai kekuasaan absolute yang seragam diseluruh Indonesia (sebelum berlakunya UU Nomer 7 tahun 1989). Peradilan Agama tidak dapat menerima ketentuan umum Peradilan Umum diatas, sebab suatu jenis perkara yang misalnya menjadi kekuasaan absolute Peradilan Agama di Pulau Sumatera belum tentu juga menjadi kekuasaan absolut Peradila Agama di pulau Jawa, misalnya dalam perkara waris.

D. Kekuasaan absolut

Kekuasaan absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara  atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadila, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya:
Pengadila Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Pearadilan Umum.
Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung.
Banding dari Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadila Tinggi.Terhadap kekuasaan absolute ini, Pengadilan Agama diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekeuasaan absolutnya atau bukan.Kalau jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya, Pengadilan Agama dilarang menerimanya. Jika Pengadilan Agama menerimanya juga maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut “eksepsi absolut” dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab pertama gugatan bahkan boleh diajukan kapan saja, malahan sampai di tingkat banding atau di tingkat kasasi. Pada tingkat kasasi, eksepsi absolut ini termasuk salah satu diantara tiga alas an yang membolehkan orang memohon kasasi dan dapat dijadikan alasan oleh Mahkama Agung untuk membatalkan putusan Pengadilan Agama yang telah melampaui batas kekuasaan absolutnya

E. KESIMPULAN
Sebelum diundangkannya UU no 3 tahun 2006 memang belum pernah ada peraturan perundang – undangan yang secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan tertentu untuk memeriksa dan mengadili perkara ekonomi syari’ah.Namun demikian, meskipun pengadilan agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah ternyata hal tersebut tidak diikuti pula dengan perangkat hukum yang mengaturnya lebih lanjut baik perangkat hukum materiil maupun perangkat hukum formil. Oleh sebab itu, dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan supaya pengadilan agama dapat segera melakukan tugas – tugas barunya maka harus dilakukan terobosan hukum guna memenuhi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.
Seiring dengan telah disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tenang Peradilan Agama pada tanggal 20 Maret 2006 ada perubahan solusif tentang penetapan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam menjadi kewenangan absolut pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama . Secara prinsip yuridis Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk menangani perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam.

0 Komentar untuk "[MAKALAH] TUGAS DAN WEWENANG PERADILAN AGAMA"

Back To Top