Makalah Lengkap Pengelolaan Zakat di Indonesia

 Pengelolaan Zakat di Indonesia

Pengelolaan zakat yang baik dan optimal dapat menjadi potensi yang cukup besar bagi umat Islam. Pengelolaan bagi bangsa Indonesia khususnya umat Islam telah lama dilaksanakan sebagai dorongan pengamalan dan penyempurnaan agamanya. Seiring dengan timbulnya kesadaran bahwa umat Islam yang mayoritas, membuat zakat menjadi sumber dana yang potensial, maka dibuatlah perundang-undangan sebagai landasan hukum pengelolaan zakat agar zakat tersebut dapat berfungsi secara optimal.

Bagaimana pengelolaan zakat di Indonesia?


Untuk melaksanakan pengelolaan zakat yang sesuai dengan peaturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan yang lainnya seperti fatwa MUI, maka diperlukan adanya pemahaman yang jelas oleh masyarakat.oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengelolaan zakat tersebut baik berdasarkan UU, fatwa MUI, kemudian tentang fakta dan dinamikanya, serta peran lembaga keuangan dalam pengelolaan zakat.

Zakat dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2011


Selama  ini  pengelolaan  zakat  berdasarkan  Undang-Undang  Nomor  38 Tahun  1999  tentang  Pengelolaan  Zakat  dinilai  sudah  tidak  sesuai  lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti.  Maka dibenntuklan UU No. 23 Tahun 2011. Pengelolaan  zakat  yang  diatur  dalam  Undang-Undang  ini  meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan.

Dalam UU No. 23 Tahun 2011, pengertian zakat terdapat pada Pasal 1 Ayat (1), yang berbunyi:

Zakat merupakan harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syari’at Islam.

Zakat yang dimaksud di sini adalah zakat mal dan zakat fitrah. Adapun yang termasuk dalam zakat mal meliputi zakat emas, perak, dan logam mulai lainnya; uang dan surat berharga lainnya; perniagaan; pertanian, perkebunan, dan perhutanan; peternakan dan perikanan; pertambangan; perindustrian; pendapatan dan jasa; dan rikaz. (Pasal 4 Ayat (1) dan (2))

Undang-undang ini mempunyai implikasi yang sangat luas bagi lembaga pengelolaannya. Pengelolaan tersebut secara umum mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatannya berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha-usaha yang produktif.

Untuk mewujudkan optimalisasi pengelolaannya, badan amil zakat senantiasa dituntut untuk amanah, profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas serta kemandirian sebagai sebuah industri publik menuju masyarakat yang sejahtera, berdayaguna dan bertaqwa.

Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam undang-undang ini ditentukan adanya unsur pembinaan  dan unsur pengawasan yang terdiri dari ulama, kaum cendekia, masyarakat, dan pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap pengelola yang tidak sesuai denga ketentuan.

Fatwa MUI tentang Zakat

Ketentuan mengenai zakat di Indonesia selain diatur dalam perundang-undangan juga berdasarkan pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di antara fatwa-fatwa tersebut meliputi:

a. Fatwa tentang intesifikasi pelaksanaan zakat yang disidangkan pada tanggal 26 Januari 1982, menetapkan:
  1. Penghasilan dari jasa dapat dikenakan zakat apabila samapi nisab dan haul.
  2. Yang  berhak  menerima  zakat  hanya  delapan ashnaf  yang tersebut dalam Al-Qur’an pada surat at-Taubah ayat 60. Apabila salah  satu ashnaf tidak  ada,  bagiannya  diberikan kepada ashnaf yang ada.
  3. Untuk  kepentingan  dan  kemaslahatan  umat  Islam,  maka  yang tidak dapat dipungut melalui saluran zakat, dapat diminta atas nama infaq atau shadaqah.
  4. Infaq  dan  shadaqah  yang  diatur  pungutannya  oleh  Ulil  Amri, untuk  kepentingan  tersebut  di  atas,  wajib  ditaati  oleh  umat Islam menurut kemampuannya.
b. Fatwa tentang mentasharufkan dana zakat untuk kegiatan produktif dan kemaslahatan umat. Ditetapkan pada tanggal 2 Februari tahun 1982, yang berisi bahwa zakat  yang  diberikan  kepada  fakir  miskin  dapat  bersifat produktif. Dana  zakat  atas  nama  Sabilillah  boleh  ditasarufkan  guna keperluan maslahah'ammah (kepentingan umum).

c. Fatwa tentang pemberian zakat untuk beasiswa. Ditetapkan pada tanggal 19 Februari 1996, yang ketentuannya terlampir dalam surat fatwa No. Kep.-120/MU/II/1996. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa memberikan  uang  zakat  untuk  keperluan  pendidikan,  khususnya dalam  bentuk  beasiswa,  hukumnya  adalah  SAH,  karena  termasuk dalam ashnaf fi sabilillah.

Selain ketiga fatwa di atas, masih ada banyak fatwa MUI lain yang berkaitan dengan zakat, seperti fatwa tentang zakat penghasilan, tentang penggunaan dana zakat untuk ishtishmar (investasi), tentang amil zakat, tentang hukum zakat atas harta haram, serta beberapa fatwa lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Fakta dan Dinamika Perkembangan Zakat

Sejak islam datang ke tanah air, zakat telah menjadi salah satu sumber dana untuk kepentingan pengembangan agama islam. Dalam perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan barat, zakat terutama bagian sabilillah-nya, merupakan sumber dana perjuangan. Ketika satu per satu tanah air dikuasai oleh penjajahan Belanda, pemerintah kolonial itu mengeluarkan bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi kebijakan pemerintah kolonial mengenai zakat. 

Yang menjadi pendorong pengeluaran peraturan tentang zakat itu adalah alasan klasik rezim kolonial yakni mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh para penghulu atau naib bekerja untuk melaksanakan administrasi keuangan pemerintah Belanda, tapi tidak diberi gaji atau tunjangan membiayai hidup dan kehidupan mereka beserta keluarganya. Dan untuk melemahkan (dana) kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larang itu dituangkan dalam bijblad Nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905. Tahun pengeluaran bijblad ini hampir bersamaan dengan dinyatakannya berakhir perang aceh yang berlangsung puluhan tahun itu. Maksudnya adalah agar para priyayi pribumi di daerah itu terutama, tidak lagi membantu pemungutan dan pengelolaan zakat yang terjadi sebelumnya sesuai dengan ajaran islam. 

Demikianlah, sejak Indonesia merdeka, di beberapa daerah di tanah air, penjabat-penjabat pemerintah yang menjadi penyelengara Negara telah ikut serta membantu pemungutan dan pendayagunaan zakat. Kenyataan ini dapat dihubungkan dengan pelaksanaan pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir-miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Kata-kata fakir-miskin yang digunakan dalam pasal tersebut jelas menunjukkan pada para mustahiq yaitu mereka yang berhak menerima bagian zakat. 

Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat ini, secara kualitatif, mulai meningkat pada tahun 1968. Pada tahun itu, pemerintah mengeluarkan peraturan menteri agama Nomor 4 dan Nomor 5/1968, masing-masing tentang pembentukan badan amil zakat dan pembentukan baitul mal (balai harta kekayaan) di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/ kotamadya. Setahun sebelumnya, yakni pada tahun 1967, pemerintah telah pula menyiapkan RUU zakat yang akan dimajukan kepada DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Rencana Undang-undang tentang zakat yang disiapkan oleh menteri agama ini, diharapkan akan didikung oleh menteri sosial (karena erat hubungannya dengan pelaksanaan pasal 34 UUD 1945) dan menteri keuangan (karena ada hubungannya dengan pajak). Menteri keuangan pada waktu itu, dalam jawabannya kepada menteri agama, menyatakan bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu dituangkan dalam undang-undang, cukup dengan peraturan menteri agama saja. Karena pendapat itu, menteri agama mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun 1968, yang isinya menunda pelaksanaan peraturan menteri agama No.4 dan No.5 Tahun 1968 tersebut.
Beberapa hari setelah peraturan menteri agama itu keluar, Presiden Suharto, dalam pidatonya pada malam peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968 mengeluarkan anjuran untuk menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisasi. Secara pribadi, beliau menyatakan diri bersedia menjadi amil zakat tingkat nasional. Anjuran presiden itulah yang menjadi pendorong terbentuknya badan amil zakat di berbagai provinsi yang dipelopori oleh pemerintah daerah khusus ibukota Jakarta raya. Empat belas tahun kemudian, yakni pada tahun 1982, Presiden Suharto sendiri melembagakan anjurannya itu dengan membentuk Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. 

Dengan dipelopori oleh pemerintah daerah DKI Jakarta yang pada waktu itu dipimpin  oleh Gubernur Ali Sadikin, berdirilah di ibukota Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) pada tahun 1968. Di berbagai daerah tingkat provinsi, setelah itu juga berdiri pula badan serupa yang dipelopori oleh pejabat atau unsur pemerintah setempat dengan dukungan para ulama dan pemimpin islam atau sebaliknya. Dengan demikian terbentuklah Badan Amil Zakat yang bersifat semi pemerintah, umumnya melalui surat keputusan Gubernur. Kini dikenal Bazis atau Baz di Aceh (1975), Sumatera Barat (1973), Sumatera Selatan, Lampung (1975), DKI Jaya (1968), Jawa Barat (1974), Kalimantan Selatan (1977), Kalimantan Timur (1972), Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan (1985) dan Nusa Tenggara Barat. Badan itu tampil dengan nama yang berbeda-beda namun, pada umumnya mengambil nama Baz, Bazis, Bazi (dengan infaq), Bakat atau Bazid (ditambah derma), dan nama-nama lain seperti badan harta agama (aceh), lembaga harta agama islam (sumut), atau yayasan dana sosial islam (sumbar). Di berbagai daerah lain, perkembangan zakat itu berbeda, ada yang misalnya, baru pada tingkat konsep atau baru ada di tingkat kabupaten, atau hanya dilakukan oleh Kanwil Agama setempat, atau belum ada perkembangannya sama sekali atau ada yang sudah ada lembaganya, tetapi belum berjalan sebagaimana mestinya. 

Dari lembaga yang telah ada, yang disebutkan diatas, dapat ditarik beberaa pola. Pola pertama adalah lembaga amil yang membatasi dirinya hanya mengumpulkan zakat fitrah saja. Pola kedua menitikberatkan kegiatan pada pengumpulan zakat mal atau zakat harta, ditambah dengan infaq dan shadaqah. Pola ketiga adalah lembaga yang kegiatannya meliputi semua jenis harta yang wajib dizakat yang dipunyai oleh seorang muslim. Pola ketiga ini nampaknya mengarah kepada pembentukan baitul mal yang menghimpun dana dan harta seerti yang disebutkan dalam (kitab) hukum (fikih) islam ( Mohammad Daud Ali, 1988:32-38).
 

Peran Lembaga Keuangan dalam Pooling Zakat


Berdasarkan UU No 38 Tahun 1999, bahwa organisasi yang berhak mengelola zakat terbagi menjadi dua bagian, yakni organisasi yang tumbuh atas prakarsa masyarakat dan disebut lembaga Amil Zakat (LAZ) serta organisasi yang dibentuk oleh pemerintah dan disebut dengan Badan Amil Zakat (BAZ). Atau yang pada Undang-Undang No. 23 tahun 2011 dikenal dengan istilah BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional).
 
Kedua bentuk organisasi ini memiliki kesamaan tujuan, yakni bertujuan mengelola dana zakat dan sumber-sumber dana sosial yang lain secara maksimal untuk keperluan umat. Misi mulia yang diemban ini jangan sampai berbenturan dalam pelaksanaan programnya. Masyarakat harus didorong supaya membentuk lembaga amil sebanyak-banyaknya.
 
Semakin menjamurnya organisasi pengelola zakat, akan semakin mempermudah dalam sosialisasi. 
Disamping itu masyarakat muzakki dapat lebih leluasa memilih lembaga yang amanah dan profesional. Dengan sendirinya seiring perjalanan waktu akan muncul dua kemungkinan; pertama, akan terjadi seleksi alamiah yaitu lembaga amil akan terseleksi dengan sendirinya dan yang terbentuk karena motivasai yang kurang baik akan berguguran, sebaliknya lembaga yang dibentuk dengan motif yang benar akan semakin berkembang. Kedua, akan terjadi kompetisi secara sehat yang semakin saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Antara lembaga amil pada semua tingkatan akan saling ‘’menjual’’ kelebihan dan program ungulan untuk meyakinkan kelompk muzakki. Kondisi ini akan semakin memperkuat posisi tawar masing-masing lembaga amil.
 
Lembaga amil zakat dan badan amil zakat dapat dibentuk pada semua tingkatan, mulai tingkat nasional, sampai lokal. Jika dalam BAZ, hirarki kepengurusannya memiliki struktur baku sesuai dengan wilayah dalam ketatanegara. Struktur tertinggi ada di pusat dan terendah di tingkat kecamatan. Di desa atau kelurahan tidak sampai pada tingkatan BAZ tetapi hanya terbatas pada unit disahkan oleh presiden, di propinsi oleh gubernur dan seterusnya sampai tingkat kecamatan.
 
Pengorganisasian BAZ di semua tingkat memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif dengan demikian akan berfungsi sebagai penata keagamaan yang memiliki fungsional dalam upaya pemecahan masalah-masalah kemanusiaan yang menyangkut pemerataan rizki yang diberikan oleh Allah kepada hambanya demi untuk kelangsungan hidup untuk mengabdi kepada-Nya. (Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2006: 59)

Sedangkan untuk LAZ, pembentukanya sangat bervariasi tergantung pada motivasi para pemrakarsanya, ini bukan berarti untuk mendapat pengesahan sebagai lembaga amil, tidak ada mekanismenya. Pemerintahan dalam UU tersebut telah menempatkan mekenisme pembentukan lembaga amil, sehingga tidak sembarang orang dapat dengan mudah mendirikan lembaga amil. Dan pemerintah berhak mengawasi dan memonitoring perkembangan organisasi dan keuangannya.

Hasil pengumpulan zakat oleh BAZ dan LAZ selanjutnya didayagunakan untuk mustahik sesuai dengan ketentuan agama berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahik. Sebelum disalurkan tentu saja diperlukan adanya riset dan penelitian tentang jumlah fakir miskin disuatu wilayah tertentu lengkap dengan potensi pengembangan sumberdaya manusia. Dari hasil riset inilah disebut skala prioritas yang akan diberi zakat terlebih dahulu. Hasil penerimaan BAZ dan LAZ dari jemis infak, sedekah, hibah, wasiat dan kafarat didayagunakan untuk usaha yang produktif agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk mustahik dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut:

  1. Hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahik delapan asnaf (golongan), yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil.
  2. Pengutamaan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan.
  3. Pengutamaan mustahik di wilayahnya masing-masing. (Magfiroh, 2007: 99)

Kritik dan Solusi untuk Perkembangan Zakat

 Zakat merupakan satu rukun yang bercorak sosial-ekonomi dari lima rukun Islam. Dengan zakat, di samping ikrar tauhid (syahadat) dan shalat, seseorang barulah sah masuk ke dalam barisan umat Islam dan diakui keislamannya. Zakat, sekalipun dibahas di dalam pokok bahasan “ibadat”, karena dipandang bagian yang tidak terpisahkan dari sholat, sesungguhnya merupakan bagian sistem-ekonomi Islam, dan oleh karena itu dibahas di dalam buku-buku tentang strategi hukum dan ekonomi Islam. (Qardawi, 2007: 3)

Di Indonesia, zakat di atur dalam sebuah perundang-undangan yang sudah terperinci dengan baik. Namun, meskipun sudah diatur dengan baik, tidak menjamin tercapainya pengelolaan yang baik, jika pengelolanya tidak memiliki sifat amanah. Jadi, untuk tercapainya pengelolaan yang maksimal, maka pengelola zakat tersebut baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat dapat amanah dan bekerja secara maksimal.
 
Kesimpulan 

Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa zakat di Indonesia diatur dalam UU No. 23 tahun 2011. Dalam peraturan perundang-undangn tersebut, lebih menekankan pada pengelolaannya. Pengelolaan  zakat  yang  diatur  dalam  Undang-Undang  ini  meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan.

Selain peraturan perundang-undangan tersebut, zakat juga diatur dalam fatwa-fatwa MUI, yang di antranya meliputi fatwa tentang intesifikasi pelaksanaan zakat, tentang mentasharufkan dana zakat untuk kegiatan produktif, dan masih banyak lagi.

Adapun lembaga pengelola zakat yang ada di Indonesia di antaranya ada BAZNAS dan LAZ.
 
Daftar Pustaka

_________, Pedoman Zakat; Seri 9, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat, DEPAG RI, 2006.
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press,2006.
Al-zuhayly, Wahbah, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997.
Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Maghfiroh, Mamluatul, Zakat, Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani, 2007.
Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat, Terjemah: Salman Harun, dll, Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2007.
 
0 Komentar untuk "Makalah Lengkap Pengelolaan Zakat di Indonesia"

Back To Top