MAKALAH; KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM


KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM

Dalam pandangan Islam semua aspek kehidupan  diatur menurut hukum yang ada yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Termasuk dalam masalah harta. Masalah harta sangatlah penting karena harta merupakan kebutuhan pokok manusia dan manusia pun cenderung terhadapnya. Oleh karena itu Islam memperhatikan hal ini dan mengaturnya dalam Al-Qur’an.

Untuk itu Islam muncul dan memberikan cahayanya agar manusia tidak semena-mena dalam mengambil keputusan. Terutama tentang pembagian waris. Karena ini akan menyangkut keluarga dan akan menimbulkan pertentangan dan perselisihan di antara keluarga.

Maka dari itu itu, perlu adanya pembahasan khusus mengenai masalah waris ini, dengan mengetahui pengertian, asas, pembagian ahli waris, dan hal-hal yang lain yang berkaitan dengan waris.

B. Rumusan Masalah 

Rusmusan masalah dalam makalah ini di antaranya:
  1. Bagaimana pengertian dari waris dalam Islam?
  2. Apa saja asas waris dalam Islam?
  3. Apa penyebab penghalang waris?
  4. Apa saja yang menjadi kewajiban ahli waris?
  5. Siapa saja ahli waris itu, dan bagaimana bagiannya?


C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana kewarisan dalam hukum perdata. Yakni untuk mengetahui apa pengertian waris menurut Islam, asas-asasnya, siapa saja yang menjadi ahli waris, berapa bagiannya, apa kewajibannya, dan hal-hal apa saja yang menjadi penghalang pewarisan.


BAB II
PEMBAHASAN

KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA 

A. Pengertian Waris dalam Islam

Warisan atau kewarisan yang sudah populer dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab yaitu: warasa yang berarti pindahnya harta si Fulan.  Waris dalam bahasa Indonesia berarti peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia. Hukum waris di dalam hukum Islam lazim juga disebut dengan istilah “Faraid” yang berarti pembagian tertentu.

Pengertian waris ditinjau secara etimologi dalam kamus Bahasa Arab, waris berasal dari kata warits yang berarti (tinggal atau kekal). Oleh sebab itu, apabila dihubungkan dengan persoalan hukum waris, perkataan warits tersebut berarti orang-orang yang berhak untuk menerima pusaka dari harta yang ditinggalkan oleh si mati sering dikenal dengan istilah ahli waris. 

Ahmad Azhar Basyir memberikan definisi kewarisan menurut hukum Islam adalah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia baik berupa hak kebendaan kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum. 

Di samping itu Hasby al-Siddieqy telah mendefinisikan mawaris sebagai jama’ dari kata atau lafaz Mirast, demikian juga irs, Wars, Wirasah dan turas diartikan dengan maurus yaitu harta pusaka peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh para pewarisnya sedangkan lafaz waris adalah orang yang berhak menerima pusaka. Kemudian lafadz tarikah/tirkah menurut beliau ialah apa yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal dunia,  baik berupa harta maupun berupa hak yang bersifat harta atau hak yang lebih  kuat unsur hartanya terhadap seseorang tanpa melihat siapa yang berhak menerimanya. 

Dari definisi dan penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hukum waris Islam merupakan suatu bagian dari hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan atau pembagian harta peninggalan dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada orang lain sebagai ahli waris serta penentuan hak perolehan dari masing-masing ahli waris tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut para ulama Islam (mujtahid) menyimpulkan bahwa sistem hukum kewarisan dalam Islam meliputi tiga aspek bahasan yang utama, yaitu mengenai penentuan tirkah (harta peninggalan), penentuan ahli waris serta penentuan besar bagian masing - masing ahli waris. 

Kesimpulan di atas sesuai dengan ketentuan penjelasan Angka 37 pasal 49 huruf b Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian  masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.  Dan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pegangan para hakim di lingkungan Peradilan dalam melaksanakan tugasnya menyelesaikan perkara di bidang kewarisan.

B. Asas Hukum Waris


1. Asas berlaku dengan sendiri (ijbari)

Dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Unsur “memaksa” (ijbari) ini terlihat, terutama dari kewajiban ahli waris untuk menerima perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan oleh Allah di luar kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, calon pewaris yaitu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan. 

2. Asas bilateral

Istilah bilateral apabila dikaitkan dengan sistem kekerabatan berarti kesatuan kekeluargaan yang didasarkan atas garis keturunan pihak bapak dan ibu. Oleh sebab itu, asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti seorang ahli waris dapat menerima bagian harta pusaka, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Pengertian ini mempunyai makna bahwa harta pusaka dari pewaris dapat dimiliki secara perorangan oleh ahli waris bukandimiliki secara berkelompok.

Praktek pelaksanaan dalam asas tersebut dilakukan dengan mengumpulkan seluruh harta waris yang dinyatakan dalam nilai tertentu kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerima berdasarkan kadar bagian masing-masing. Dalam hal ini, pewaris berhak sepenuhnya terhadap bagian yang diperoleh tanpa terikat oleh ahli waris yang lain.

3. Asas persamaan hak dan perbedaan bagian

Hukum waris Islam tidak membedakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik berstatus masih kecil dan mereka yang sudah dewasa semua memiliki hak untuk mendapatkan warisan. Jadi persamaan hak ini dapat dilihat dari segi usia dan jenis kelamin. Perbedaannya hanya terletakpada bagian yang akan didapat setiap ahli waris. Hal ini disesuaikan dengan perbedaan proporsi beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam keluarga.

4. Asas keadilan berimbang

Perkataan adil terdapat banyak dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam sistem ajaran Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses dan tujuan segala tindakan manusia.  

Dengan demikian, asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.

Asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup.

Berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Oleh karena itu hukum kewarisan islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja, yaitu kewarisan sebagai akibat dari kematian seseorang. 

C. Penghalang Waris  


Dalam literatur fiqh dijelaskan mengenai penghalang untuk mendapatkan hak waris yaitu ada tiga, di antaranya:

  • Membunuh seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan an Nasai dari Qutaibah bahwa Rasulullah bersabda, orang yang membunuh tidak mewarisi.
  • Karena berbeda agama sebagaimana dikemukakan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Rosulullah bersabda, “tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir dan orang kafir terhadap orang muslim”. Dalam fiqh konvensional, pembahasan mengenai perbedaan agama menjadi penghalang menerima waris, selain ditinjau dari faktor geografi dan wilayah politik yang tidak kondusif hubungan ismah dan perwalian juga menjadi alasan para ulama dalam membahas perbedaan agama. 
  • Perbudakan, meskipun pembahasannya sudah dianggap usang, namun dalam kitab fiqh masih membahasnya. Hal ini didasarkan pada Firman Allah dalam surat an Nahl ayat 7521. Ayat ini menegaskan bahwa seorang hamba tidak mempunyai kekuasaan apapun, sehingga kalaupun ia diberi hak waris maka pemiliknya lah yang akan menguasainya. 

Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dikenal mengenai penghalang waris akibat perbedaan Negara dan perbudakaan, akan tetapi memperluas mengenai makna membunuh yang menjadi penghalang menerima waris menurut KHI kepada beberapa hal seperti pada Pasal 173 KHI yaitu seseorang yang telah dipersalahkan :
  1. telah membunuh
  2. mencoba membunuh
  3. menganiaya berat para pewaris;
  4. memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Dengan melihat uraian tersebut, terlihat hukum waris Indonesia menetapkan mawani’ul irsi berkenaan dengan tindak pidana lebih ketat dibandingkan dengan fiqh konvensional. Namun sebaliknya, dalam mawaniul iris berkenaan dengan perbedaan agama, ternyata lebih longgar, karena beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah menetapkan bahwa ahli waris non muslim meskipun tidak mendapatkan hak waris tetapi ia mendapatkan harta melalui wasiat wajibah. Salah satu yurisprudensi tersebut adalah putusan Mahkamah Agung RI Nomor 366.K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998.

D. Kewajiban Ahli Waris 

 
Sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai ahli waris apabila ada yang meninggal dunia untuk segera menuntaskan urusan duniawinya, terutama yang berkaitan dengan materi/harta. Hal ini dicantumkan di dalam Pasal 175 KHI/Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa:

  1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
  2. Menyelesaikan baik hutang piutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
  3. Menyelesaikan wasiat pewaris
  4. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

E. Ahli Waris dan Bagiannya  


1. Ahli Waris Nasabiyah

Bagian ahli waris ahli waris Nasabiyah dapat dibedakan dari bentuk penerimaannya menjadi dua, pertama Ashab al-Furud al-Muqadarah yaitu ahli waris yang menerima bagian tertentu yang telah ditentukan al-Quran. Mereka ini umumnya ahli waris perempuan. Kedua, Ashab al-Usubah yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa telah diambil oleh Ashab al-Furud al-Muqadarah ahli waris penerima sisa kebanyakan ahli waris laki-laki.

Besarnya bagian tertentu dijelaskan dalam al-Quran mulai dari 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3 adapun bagian sisa ada tiga kategori.

a. Asabah Binafsih yaitu bagian sisa yang diterima karena status dirinya seperti : anak laki-laki cucu laki-laki garis laki-laki atau saudara laki-laki sekandung prinsip penerimaan ahli waris ashab al-Usubah ini berdasarkan kedekatan kekerabatannya. Mana yang paling dekat kekerabatannya maka dia yang berhak menerima bagian sisa yang telah diambil ahli waris lainnya.

b. Asabah bi al-Gair yaitu bagian sisa yang diterima oleh ahli waris karena bersamaan, dengan ahli waris lain yang telah menerima sisa apabila ahli waris lain tidak ada. Maka ia kembali menerima bagian tertentu semula. Dalam penerimaan asabah bi al-Gair. Ini berlaku ketentuan laki-laki menerima dua kali bagian perempuan. 

Ahli waris yang menerima bagian asabah Bil Gair adalah sebagai berikut :
  • Anak perempuan bersama anak laki-laki.
  • Cucu perempuan garis laki-laki bersama cucu laki-laki garis laki-laki.
  • Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.
  • Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.

c. Asabah Ma’a al-Gair yaitu bagian sisa diterima ahli waris karena bersama ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tersebut tidak ada maka ia kembali menerima bagian tertentu seperti semula. Ahli warisnya terdiri dari : saudara perempuan sekandung baik satu atau lebih, ketika bersama-sama anak atau cucu perempuan dan saudara perempuan seayah (satu atau lebih) ketika bersama-sama anak atau cucu perempuan.

2. Ahli Waris Sababiyah

Ahli waris Sababiyah semuanya menerima bagian furud al-
Muqaddarah sebagai berikut :

a. Suami menerima :
- ½ bila tidak ada anak atau cucu
- ¼ bila ada anak atau cucu
b. Istri menerima bagian :
- ¼ bila tidak ada anak atau cucu
- 1/8 bila ada anak atau cucu (Berdasarkan QS. al-Nisa’, 4 : 12) 

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Hukum waris Islam merupakan suatu bagian dari hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan atau pembagian harta peninggalan dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada orang lain sebagai ahli waris serta penentuan hak perolehan dari masing-masing ahli waris tersebut.
  2. Asas hukum waris di antaranya: asas berlaku sendiri, asas bilateral, asas persamaan hak dan perbedaan bagian, dan asas kedilan berimbang.
  3. Di antara penghalang kewarisan adalah pembunuhan, perbedaan agama, dan perbudakan. Kewajiban ahli waris kepada pewaris di antaranya: mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, menyelesaikan baik hutang piutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang, menyelesaikan wasiat pewaris, membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
  4. Ahli waris dibedakan menjadi dua, yakni ahli waris nasabiyah, dan ahli waris sababiyah.


B. Saran  

Demikianlah makalah tentang “Kewarisan dalam Hukum Perdata Islam” yang dapat kelompok kami sampaikan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kesalahan. Untuk itu kami mohon maaf dan kritikannya yang membangun untuk perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat.  Amin.


DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Mahmud, 1989 Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakartya Agung 
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjutak, 1995, Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, Jakarta: Sinar Grafika.
Basyir, Ahmad Azhar, 2001, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Edisi Revisi, UII Press.
Al-Siddieqy, Hasby, 2001,  Fiqihul Mawaris, cet-2, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Rahman, Fatchur, 1971, Ilmu Mawaris¸ Bandung: PT. Alma’arif.
Ali, Mohammad Daud, 1998, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Al Kahlani, Muhammad Ibn Ismail, tth., Subulus Salam, Juz 3, Bandung: Dahlan.
Rafiq, Ahmad, 2000, Hukum Islam di Indonesia, Cet. Ke-4, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

0 Komentar untuk "MAKALAH; KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM"

Back To Top