Series; Trouble Maker (Part 1)

Bicara soal belajar nulis, sebagaimana tag line blog ini, "Tempat Tepat Belajar Menulis", maka yang saya maksud di sini tentu adalah nulis apa saja. Baik itu karya tulis ilmiah, non ilmiah, maupun populer.

Untuk Pengertian dan Jenis Karya tulis selengkapnya lihat DI SINI.

Jika pada postingan-postingan sebelumnya saya lebih banyak menulis tentang karya tulis yang bersifat ilmiah seperti makalah serta komponen-komponen yang ada di dalamnya, maka kali ini saya akan mencoba membuat postingan karya tulis non ilmiah. (Dan harapannya nanti pembaca juga bisa sharing tulisan kalian juga.)

Karya tulis non ilmiah merupakan karangan yang menyajikan fakta pribadi tentang pengetahuan dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, bersifat subyektif, tidak didukung fakta umum, dan biasanya menggunakan gaya bahasa yang popular atau biasa digunakan (tidak terlalu formal).Yang termasuk dalam kategori karya tulis non ilmiah di antaranya: dongen, cerpen, cerbung, novel, drama, roman, dll.

Untuk kali ini saya akan menulis cerita bersambung atau cerbung dengan judul Trouble maker. Dari judulnya saja sudah kelihatan kan kalau cerita ini masih setara dengan teenlit atau novel-novel abg sejenis. Untuk sementara baru segitu kemampuan saya, jadi harap maklum dan mohon bimbingannya :)

Tidak usah berlama-lama, check this out, and happy reading...

PENGERTIAN DAN CONTOH CERBUNG

TROUBLE MAKER

Ruang kelas sedang sangat gaduh. Ada yang memukul-mukul meja berpura-pura menjadi drummer profesional. Ada yang sedang mencorat-coret papan tulis menggambar berbagai bentuk animasi. Ada yang sedang asyik bergosip ria tentang penyanyi muda dari luar negeri yang akan datang ke Indonesia. Pemandangan yang sangat biasa saat jam pelajaran kosong.

Di tengah keramaian itu, aku lebih memilih duduk di ujung ruangan. Sedang tidak berselera untuk melakukan apapun selain mendengarkan musik dengan headset dan memejamkan mata mencoba untuk tidur. Saat alam mimpi mulai menghampiriku, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh yang sangat keras.

Aku segera membuka headset dan mataku bersamaan karena kaget. Seisi kelas menjadi sunyi. Semua pandangan mata bagai pasir yang terkena gaya tarik magnet, segera tertuju ke sumber suara. Ternyata itu adalah suara Mita yang jatuh terduduk di lantai. Pantas saja suaranya begitu keras, karena tubuh Mita memang lumayan berisi. 

Meski sudah dapat mengatasi rasa malunya, Mita tidak dapat menahan rasa sakitnya dan menangis.

“Bagian mana yang sakil Mit?” tanyaku saat menghampirinya.

“Punggungku,” jawabnya sambil meringis menahan sakit. Segera ku lihat luka yang dia maksud. Benar saja, ternyata ada bercak darah di punggungnya. Tidak banyak memang, tapi sepertinya memang cukup menyakitkan.

“Gimana bisa jatuh?” tanyaku pada Arin yang ikut memeriksa luka Mita.

“Tadi pas mau duduk, Diaz iseng narik kursinya Mita,” jawab arin menjelaskan duduk perkara.

Ku lihat sekelilingku. Mataku berhenti pada sosok tinggi berambut ikal yang sedang berdiri di samping Mita. Wajahnya menyiratkan rasa bersalah.

“Apa yang sudah kamu lakukan?!” seruku padanya, sedikit membentak.

“Apa?! Aku tadi cuma bercanda, mana aku tahu akan seperti ini,” dia mencoba berkilah, merasa tersinggung aku telah membentaknya.

“Lihat hasil bercandamu yang sangat tidak lucu dan kekanak-kanakan ini. Tidak bisakah kamu sebentar saja tidak membuat masalah?!” mendengar reaksinya yang justru membela diri aku hampir naik pitam.

“Sudah La, ngga usah diperpanjang. Mending sekarang kita bawa Mita ke ruang kesehatan, kasihan dia kesakitan.” Arin mencoba membujukku untuk tidak memperpanjang masalah ini. Dan aku pun menurut.

***

“Ngga habis pikir deh Rin, aku sama si Diaz,” kataku pada Arin saat tiba di kantin usai mengantar Mita ke ruang kesehatan.

“Fiuh... masih bahas Diaz lagi nih?” Arin memutar bola matanya pura-pura bosan.

“Mau gimana lagi, abisnya dia rese banget sih. Selalu saja bikin masalah. Dasar Troublemaker.”

“Udah lah La, dia kan udah bilang ngga sengaja.”

“Tapi ini kan bukan yang pertama Rin, kemarin aja dia abis numpahin minyak angin ke mata Dina, sekarang Mita juga jadi korban keisengannya. Untung aja lukanya ngga parah, kalo sampai mereka kenapa-napa gimana?”

“Iya-iya, yang penting kan mereka sekarang baik-baik saja. Lagian Diaz juga udah ngaku salah dan minta maaf.”

“Tetep aja, kalo sampe Diaz-“

“Sstt... udah ah ngomongin Diaz mulu, ntar suka loh,” benar-benar sudah bosan mendengar gerutuku, kini Arin berbalik menggodaku.

“What?!” aku hampir tersedak mendengar apa yang baru saja Arin katakan, “Aku? Suka sama si Troublemaker? Not even in my wildest dream,” lanjutku sambil menunjukkan muka pura-pura muntah.

“Jangan gitu, ntar suka beneran baru tahu rasa.”

“Ogah, ngga bakal,” Kataku sambil ngeloyor pergi membawa gorengan Arin.

“Lila! Balikin gorenganku!” 

***

Aku tidak tahu di mana ini. Tempatnya begitu indah. Sejauh mata memandang bunga lily mekar beraneka warna. Ku dapati diriku sedang duduk di atas hamparan padang rumput yang hijau. Seekor kupu-kupu bersayap putih hinggap di tanganku. Belum pernah aku melihat kupu-kupu secantik ini. 

Ku pejamkan mataku mencoba menghirup wangi bebungaan di sekitarku. Saat ku buka mataku, tiba-tiba ada sosok tinggi berambut ikal berdiri di hadapanku. Sosok tersebut lalu menoleh dan menghampiriku.

‘Tidak mungkin,’ aku membatin.

“Boleh aku duduk?” belum sempat aku merespon sosok tersebut yang ternyata adalah Diaz sudah duduk di sampingku. Meski merasa agak terganggu dengan kehadirannya yang tiba-tiba, aku tetap membiarkannya duduk di sana dan kembali menikmati pemandangan.

Saat aku berusaha untuk mengabaikan kehadirannya, tiba-tiba Diaz memanggilku, “Kalila...” Tidak biasanya dia memanggilku seperti itu. 

“Hemm..” jawabku acuh tanpa menoleh.

“Lila, aku suka sama kamu.” 

“Apa?!” saking kagetnya, aku sampai tersentak ke alam nyata. Huft, untung Cuma mimpi. Aku segera meraih gelas di meja samping tempat tidurku dan menenggak habis isinya. Kuusap keringat yang membanjir di pelipisku. Aku lega sekali ini Cuma mimpi. Sungguh, mimpi yang sangat aneh.

Ku lirik jam Micky Mouse yang menggantung di dinding kamarku. Kedua jarumnya sedang menunjuk tepat di angka dua belas. Masih terlalu dini untuk bangun, pikirku. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali tidur. Meski sulit, ku paksakan mataku untuk terpejam kembali. 

Dua jam kemudian aku kembali terbangun dengan mimpi yang hampir sama. Meskipun tempat dan suasananya berbeda, dalam mimpi keduaku juga ada Diaz  di dalamnya. Karena masih mengantuk, aku berusaha untuk mengabaikan mimpi tersebut dan kembali tidur.

Namun sial, aku kembali terbangun dengan mimpi yang serupa dengan kedua mimpiku sebelumnya. Kali ini meskipun fajar belum menyingsing, aku tidak berniat untuk kembali tertidur. Ada apa ini? Kenapa aku bermimpi aneh seperi ini? Dan kenapa Diaz?  Aku menggelengkan kepala kuat-kuat berharap bayangan cowok paling rese yang pernah aku kenal itu segera hilang.

Tidak tahu harus melakukan apa, akhirnya aku memutuskan untuk menyibukkan diri dengan membersihkan kamar hingga terdengar suara adzan subuh dari masjid. Biasanya aku kembali tertidur setelah sholat subuh. Karena tidak mau bermimpi yang aneh-aneh lagi, aku memilih untuk berolahraga di taman kompleks.
Setelah tiga kali mengelilingi taman, akhirnya kakiku menyerah. Aku duduk di salah satu bangku taman untuk beristirahat saat sebuah suara tiba-tiba mengejutkanku. 

“Tumben joging La.” 

“Diaz, ngapain kamu di sini?” 

“Kenapa Kaget gitu? Aku kan juga tinggal di sini.” Benar juga, Diaz memang tinggal juga di perumahan tempatku tinggal.

“Eh, em... ngga biasanya aja aku lihat kamu sepagi ini,” aku sedikit tergagap karena ingat mimpiku semalam. Dan tidak menyangka aku justru bertemu dengannya di dunia nyata saat aku berusaha menghindarinya di alam mimpi.

“Kan emang biasanya jam segini kamu masih molor,” tersungging seringai usil khasnya yang membuatku dongkol sekaligus lega karena Diaz yang ini beda dengan yang ada di mimpiku. 

“Enak aja, kamu tuh yang tumben-tumbenan sepedaan jam segini, kesambet apaan?” meski apa yang dia bilang benar, aku tetap tidak mau kalah dan balik mengoloknya.

“Loh, ngga lihat tubuhku proporsional kayak gini? Dikira bisa kayak gini dengan sendirinya?” katanya memamerkan lengan krempengnya bergaya bak binaragawan.

“Euh... dasar Mr. Narsis.” Kataku sambil melanjutkan lari. 
Karena tidak memperhatikan jalan, tanpa sengaja kakiku terperosok lubang trotoar. “Auch...” aku berteriak menahan sakit. Terdengar Diaz melempar sembarang sepedanya dan berlari menghampiriku.

“Kamu ngga apa-apa La?” tanyanya terdengar khawatir. Aku tidak sanggup mengeluarkan suara karena gigiku mengatup rapat menahan sakit. Aku hanya memegangi kaki kiriku yang sesaat seperti remuk.

“Coba aku lihat.” Dengan hati-hati Diaz membuka sepatuku. 

“Aw, pelan-pelan dong! sakit tau!” teriakku saat tanpa sengaja Diaz menyenggol luka di kakiku. 

“Ini juga udah pelan,” katanya sambil melanjutkan membuka kaos kakiku. “Sepertinya terkilir,” lanjutnya kemudian. Benar saja, ada lebam merah kecoklatan di bawah mata kakiku.

Setelah memakaikan kembali sepatu dan kaos kakiku, Diaz berdiri lalu mengambil sepeda yang tadi digeletakkannya. “Ayo aku antar pulang,” katanya sambil membantuku berdiri. 

“Tidak perlu, aku bisa jalan sendiri,” aku terlalu gengsi untuk menerima tawarannya. “Auch...” aku hampir saja kembali terjatuh jika tangan Diaz tidak sigap menangkapku. Ternyata sakitnya seperti bertambah dua kali lipat saat aku berusaha berjalan.

“Tuh kan, dibilang juga apa. Gimana? Masih mau jalan sendiri?”
Akhirnya aku menyerah dan duduk di palangan besi sepeda pixinya. Posisi dudukku benar-benar membuatku tidak nyaman. Dengan jarak yang begitu dekat dan kedua lengannya yang mengapitku semakin menghapus jarak di antara kami.

Aku dapat mencium  aroma keringat dan parfumnya. Dan entah mengapa jantungku seperti menggedor-gedor dadaku berharap dibebaskan. Suasana ini benar-benar membuatku gila. Sepanjang perjalanan aku hanya diam, karena untuk bernapas saja sepertinya paru-paruku tidak sanggup bekerja dengan normal. Sial! Kenapa jadi nerveus ini sih. Ini kan cuma Diaz.

Akhirnya siksaan ini akan segera berkahir saat gerbang hitam rumahku mulai terlihat.

TO BE CONTINUE... ☺☺☺

Tag : Fiksi, series
0 Komentar untuk "Series; Trouble Maker (Part 1)"

Back To Top