PENGERTIAN IJAROH DAN KETENTUAN DI DALAMNYA

Pengertian Ijaroh dan Ketentuan di dalamnya


Fiqih muamalah merupakan aturan yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia lainya dalam sebuah masyrakat. Segala tindakan manusia yang bukan merupakan ibadah termasuk dalam kategori ini. Didalamnya termasuk kegiatan perekonomian masyarakat. Salah satu jenis trangsaksi ekonomi yang dibahas dalam fiqih muamalah ialah al-Ijarah.

Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam pelaksanaan Ijarah ini yang menjadi objek transaksinya adalah manfaat yang terdapat pada sebuah Dzat. Rasulullah SAW. bersabda:  

“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”(HR. Ibn Majah dari Ibn Umar) 

Hadits di atas dapat disimpulkan bahwa proses Ijarah sudah ada sejak zaman  Nabi. Untuk lebih jelasnya, didalam makalah ini akan dibahas permasalahan ijarah yang meliputi pengertian, dasar hukumnya, rukun dan syaratnya, hal-hal yang dapat membatalkannya. 

Dengan memahami ilmu pengelolaan harta, dalam hal ini pembahasan Ijarah, semoga senantiasa dapat menjadikan kita lebih berhati-hati dalam menggunakan harta yang kita miliki. Sehingga ilmu tersebut dapat menuntun kita agar tidak jatuh pada hal yang syubhat, terlebih pada yang haram.

Tujuan disyariatkannya ijarah sendiri adalah untuk memberikan keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup. Seseorang mempunyai uang tetapi tidak dapat bekerja, dan di lain pihak ada yang mempunyai tenaga dan membutuhkan uang. Dengan adanya ijarah keduanya saling mendapat keuntungan

Rumusan dalam karya ilmiah ini antara lain:
  • Apa pengertian Al-Ijarah ?
  • Apa dasar hukum  Al-Ijarah ?
  • Apa Syarat-syarat dan rukun Al-Ijarah?
  • Bagaimana pembatalan dan berakhirnya Al-Ijarah?


Tujuan Penulisan

  • Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
  • Untuk mengetahui pengertian Al-Ijarah
  • Untuk mengetahui dasar hukum  Al-Ijarah
  • Untuk mengetahui Syarat-syarat dan rukun Al-Ijarah
  • Untuk mengetahui pembatalan dan berakhirnya Al-Ijarah


Pengertian Ijaroh


Secara bahasa kata ijaroh atau yang berarti sewa-menyewa berasal dari kata al-Ajru dan jama’nya yang berarti upah, juga bisa berarti al-iwadhu “Ganti”, dari sebab itu muncul lah kata Ats-tsawab yang berarti pahala yang biasa di sebut dengan kata ajru “Upah”. DR. Wahbah azzuhaili dalam kitabnya Al-Fiqhul islami wa adillatuhu menjelaskan ijaroh secara bahasa yaitu: yang berarti jual beli manfa’at.

Berdasarkan definisi diatas maka secara etimologi ijaroh adalah imbalan atas pekerjaan atau manfa’at sesuatu.
Sedangkan menurut istilah ahli fiqih:

1. Ulama’ Syafi’iyyah

Menurut hadist diatas dijelaskan bahwa: menjual manfa’at atau akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu, serta diketahui kebolehannya dengan serah terima dan ganti yang diketahui manfa’at kebolehannya.

2. Ulama’ Hanafiyah

Dijelaskan bahwa Akad terhadap suatu manfa’at dengan adanya ganti dari suatu tersebut.

3. Ulama’ Malikiyyah

Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu.

4. Ulama’ Hambaliyah

Ijaroh adalah suatu akad yang bisa sah jika menggunakan lafadz ijaroh dan kara’ dan semacamnya.

Dari beberapa definisi di atas, tidak ada perbedaan yang mendasar atas pengertian ijaroh. Akan tetapi jika diperhatikan secara mendalam atas definisi yang telah dipaparkan oleh para ulama’ di atas maka dapat difahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijaroh yaitu:

  1. Adanya akad persetujuan antara kedua belah pihak yang ditandai dengan adanya ijab dan qobul.
  2. Adanya suatu imbalan tertentu.
  3. Mengambil manfaat, misalnya memberi upah seseorang buruh untuk bekerja.


Dengan demikian, obyek sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang).

Hukum Ijaroh menurut Syara’


Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang diperbolehkan oleh syara’, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak memperbolehkan Ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukan akad, tidak bisa diserahterimakan. Setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikit. Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu pada waktu akad tidak boleh diperjual belikan.  Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh ibn Rush, bahwa manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada galibnya ia (manfaat) akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan syara’.

Menurut syari’at islam, akad ijaroh atau sewa-menyewa hukumnya diperbolehkan. Allah berfirman dalam surat At-thalaq ayat 6:

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. At-thalaq : 6)

Juga terdapat dalam surat Al-qashash ayat 26-27 yang artinya:

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Berkatalah dia (Syu´aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik". (QS. Al-qashash 26-27).

Adapun hukum diperbolehkannya akad ijaroh menurut hadis Rosulullah SAW bersabda:
          
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra.istri nabi SAW berkata : Rasulallah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari suku bani Ad Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan ia masih memeluk agama orang kafir quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Syur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari selasa. (H.R Bukhori).

Syarat Dan Rukun Ijaroh  


Rukun merupakan sesuatu yang harus ada dalam sebuah ibadah ataupun muamalah(akad/transaksi), dan hal itu tidak boleh lepas. Tanpa adanya rukun, maka sebuah akad tidak akan jadi “sah”. Abdul karim zaidan dalam kitabnya mengatakan bahwa rukun adalah bagian dari sesuatu dan zatnya.

Jika rukun adalah seperti uraian yang ada di atas, maka rukun sudah jelas adanya dalam sebuah akad seperti akad ijaroh atau sewa-menyewa. Ijaroh bisa dikatakan sah jika memenuhi rukun dan syarat. Adapun rukun ijaroh menurut madzhab hanafiyyah adalah adanya ijab dan qobul, yaitu dengan menggunakan lafadz al-ijaroh, al-isti’jar, al-ikhtiro’, dan al-ikro’.

Adapun menurut para madzhab yang lain (jumhurul ulama’) rukun ijaroh ada 4 macam, yaitu:

  1.  orang yang berakad yaitu orang yang menyewakan atau memberi upah dan  orang yang menyewa sesuatu atau yang menerima upah.
  2. serah terima antara orang yang memberi upah dan orang yang di beri upah.
  3. adanya upah dari si pemberi.
  4. manfa’at barang yang di sewakan atau sesuatu yang dikerjakan oleh musta’jir.


Rukun inilah yang banyak digunakan oleh jumhurul ulama’ dalam muamalah ijaroh.

Termasuk sahnya suatu akad ijaroh, yaitu adanya syarat. Menurut madzhab syafi’i syarat tersebut  antara lain:

  • 1. Disyaratkannya bagi si aqid (kedua belah pihak) harus mukallaf, yaitu sudah baligh dan berakal. Sedangakan bagi anak kecil yang sudah dikatakan mumayyiz belum bisa di kategorikan sebagai orang yang bisa melakukan akad ijaroh, karna syaratnya harus baligh. Mampu mengendalikan harta tersebut dan adanya keridhoan dari kedua belah pihak. Mengapa.? 
  • 2. Karena transaksi tersebut dikatakan sebagai jual beli dan di  dalam akad ijaroh itu mengandung pertukaran harta atau barang antara kedua belah pihak.
  • 3. Antara kedua belah pihak juga disyaratkan mengetahui manfaat barang tersebut yang di akadkan dengan sempurna sehingga tidak menimbulkan adanya perselisihan sesuatu  yang mengandung penipuan. Hal tersebut (penipuan) memang dilarang dalam islam, karna allah  berfirman dalam surat An-nisa’ ayat 29 yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa’: 29).
  • 4. Shigat ijab dan qobul antara mu’jir dan musta’jir. ijab Kabul sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp. 5.000,00”, maka musta’jir menjawab “Aku menerima sewa mobil tersebut dengan dengan harga demikian setiap hari”. Ijab Kabul upah-mengupah misalnya seseorang berkata, “Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp. 5.000,00”, kemudian musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.
  • 5. Ujroh atau upah
Dalam masalah upah para ulama’ memberikan syarat:

1. Berupa upah tetap yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak.
2. Tidak boleh sama dengan barang manfaat dari ijaroh seperti menyewa tempat dengan menempati tempat tersebut.
  • 6. Ma’qud Alaih

Syaratnya ma’qud Alaih yaitu:

  1. Barang harus dimiliki oleh aqid atau memiliki kekuasaan penuh.
  2. Adanya penjelasan atau penggambaran manfaat dari barang tersebut.
  3. Adanya penjelasan waktu. Pada hakikatnya tidak ada batas waktu yang telah ditentukan oleh agama islam, akan tetapi harus dijelaskan masa temponya dan harus disepakati oleh kedua belah pihak.
  4. Barang sewaan harus memenuhi aturan syari’at.
  5. Adanya kemanfaatan yang diperbolehkan.
  6. Manfaat barang tersebut bisa sesuai dengan umumnya.
  7. Terhindar dari penipuan, semisal cacat dll.


Jika keterangan rukun dan syarat yang telah digambarkan di atas seperti itu, maka jelaslah bahwa transaksi ijaroh sewa-menyewa bisa dikatakan sah jika memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan di atas.

Syarat Sah Ijarah


Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid  (orang yang akad),  ma’qud alaih (barang menjadi objek akad),  ujrah (upah) dan zat akad (nafs al-aqad), yaitu: 

1. Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad

Syarat ini didasarkan pada fir man Allah SWT QS. An-Nisa:29

“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu dengan jalan yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang yang dilakukan suka sama suka.” 

Ijarah dapat dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.

2. Ma’qud ‘Alaih bermanfaat 

Ma’qud ‘Alaih yang bermanfaat jika dilakukan dengan jelas. Adanya kejelasan pada ma’qud alaih (barang) menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid. Diantara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.

3. Ma’qud alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’.

Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk untuk berbicara dengan anaknya , sebab hal itu sangat mustahil atau dipandang tidak sah menyewa seseorang perempuan yang sedang haid untuk membersihkan mesjid sebab diharamkan syara’.

4. Kemanfaatan benda dibolehkan menurut Syara’ 

Macam-macam ijaroh dalam islam


Dilihat dari hukum asal diperbolehkannya ijaroh, tidak ada pembagian macam-macam ijaroh yang pasti, akan tetapi akad ijaroh disini ditinjau dari obyek ijaroh tersebut. Jika ditinjau dari obyeknya para ulama’ sepakat bahwa ijaroh di sini dibagi menjadi dua macam yaitu: Ijaroh terhadap manfaat benda konkrit atau bisa di indra dengan panca indra dan ijaroh terhadap jasa pekerjaan.

Ijaroh yang pertama dapat di anggap terlaksana dengan penyerahan barang yang disewa kepada penyewa untuk dimanfaatkan barang tersebut, seperti menyewakan atau menyerahkan rumah, sepeda motor dan sebagainya.

Adapun ijaroh yang kedua baru bisa dikatakan terlaksana jika pihak yang di sewa (pekerja) melaksanakan tanggung jawabnya yaitu melakukan sesuatu yang telah disepakati antara kedua belah pihak, seperti membuat rumah yang dilakukan oleh teknisi atau tukang, membuat almari yang dilakukan oleh teknisi tukang almari, dan sebagainya.

Ijaroh berupa tenaga kerja itu bermacam-macam ada yang bersifat pribadi seperti guru, pembantu rumah tangga, dan juga ada yang bersifat serikat atau kelompok seperti orang banyak dalam satu kelompok menawarkan atau menjual jasanya kepada pabrik sepatu, menawarkan untuk kepentingan orang banyak seperti buruh pabrik, kontraktor bangunan dan lain sebagainya. Kedua ijaroh yang seperti ini hukumnya diperbolehkan menurut jumhurul ulama’.

Itulah sekilas pembagian ijaroh dalam islam yang telah ditentukan dan disepakati oleh para ulama’.
Dari segi objeknya, akad ijarah dibagi para ulama fiqih kepada dua macam:

  • 1. Ijarah yang bersifat manfaat (sewa). Ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, dan kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk digunakan, maka para ulama fiqih sepakat hukumnya boleh dijadikan objek sewa-menyewa
  • 2. Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas dan sesuai syari’at, seperti buruh pabrik, tukang sepatu, dan tani.


Ijarah ‘ala al-‘amal (upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu :

a. Ijarah Khusus 

Ijarah Khusus yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah. Seperti pembantu rumah tangga. 

b. Ijarah Musytarak

Ijarah Musytarak yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan orang lain. Contohnya para pekerja pabrik.

Adapun perbedaan spesifik antara jasa dan sewa adalah pada jasa tenaga kerja, disyaratkan kejelasan karakteristik jasa yang diakadkan. Sedang pada jasa barang, selain persyaratan yang sama, juga disyaratkan bisa dilihat (dihadirkan) pada waktu akad dilangsungkan, sama seperti persyaratan barang yang diperjual belikan.

Waktu berakhirnya akad ijaroh


Pada dasarnya setiap akad akan selesai dan berakhir jika masanya sudah habis. Disini masalah ijaroh bisa berakhir apabila:

  1. Akad ijaroh dibatalkan, mengapa.? Karena akad ijaroh pada dasarnya suatu penukaran antara harta dengan dengan harta sama halnya seperti jual beli. Oleh sebab itu akad ijaroh boleh dibatalkan.
  2. Apabila ijaroh telah berakhir masanya maka si penyewa wajib mengembalikan barang sewaanya secara utuh seperti semula, seperti kendaraan, jika awal menyewa tersebut tidak ada kerusakan sama sekali, maka ketika mengembalikannya harus tetap seperti semula dan tidak boleh ada kerusakan terhadap barang tersebut.
  3. Menurut kebanyakan madzhab, sewa-menyewa tidak dapat batal kecuali ada hal-hal yang menjadikan tidak sahnya akad tersebut dan menjadikan batal, seperti adanya cacat dalam barang yang disewa atau tempat pemenuhan adanya manfaat menjadi hilang.


Penentuan upah dan pembayaran


Pada asalnya, ijaroh berarti upah, maka disinilah hal yang paling penting dalam akad ijaroh yaitu upah. Mengapa.? Karena menyangkut pemenuhan hak-hak musta’jir, terutama sekali hak untuk diperlakukan secara baik dalam hal pekerjaan, hak-hak atas jaminan sosial, dan hak atas upah yang layak untuk dikeluarkan.

Pembayaran upah merupakan suatu hal yang wajib dikeluarkan oleh orang yang menyewa jasa untuk melakukan suatu pekerjaan. Dan upah adalah hak yang harus diterima oleh orang yang dipekerjakan setelah orang tersebut selesai melakukan pekerjaan. Dalam islam memerintahkan kepada kedua belah pihak sebelum melakukan pekerjaan untuk menentukan upah yang akan dikeluarkan, dal hal itu harus ada perjanjian antara kedua belah pihak dan penjanjian tersebut harus disepakati bersama, tidak boleh perorangan.

Dalam masalah pemberian upah, islam menganjurkan untuk dipercepat pembayarannya dan jangan menunda nunda pemberian tersebut. Salah satu etika yang ditanamkan oleh agama islam yaitu memenuhi hak-hak musta’jir. Islam tidak membenarkan jika seorang pekerja telah melakukan pekerjaanya dengan jerih payah sementara upah tidak didapatkan, dikurangi dan juga ditunda-tunda. Itulah norma yang ditanamkan oleh agama islam berdasarkan hadis yang telah diriwayatkan oleh imam ibnu majah sebagai berikut:

"Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).  
Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa pemberian upah tidak boleh di tunda, harus diberikan secepatnya, Karena disitu bersifat perintah yaitu ada fi’il amar didalam hadis tersebut. Maka  jelaslah bahwa upah merupakan suatu hal yang wajib dikeluarkan, karena upah merupakan inti dari akad  ijaroh. Itulah sedikit uraian dari masalah akad ijaroh yang  ada dalam madzhab syafi’iyyah yang banyak diikuti pendapatnya termasuk kita. 

Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik


Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan.

Definisinya: Istilah ini tersusun dari dua kata : At-ta’jiir / al-ijaaroh (sewa), At-tamliik (kepemilikan). Definisi dua kata tersebut secara keseluruhan: 

  • 1. At-ta’jiir menurut bahasa: diambil dari kata al-ajr, yaitu imbalan atas sebuah pekerjaan, dan juga dimaksudkan dengan pahala. Adapun al-ijaaroh : nama untuk upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap pekerjaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa al-ijaaroh atau akad sewa terbagi menjadi dua yaitu: sewa barang, sewa pekerjaan. 
  • 2. At-tamliik secara bahasa bermakna : menjadikan orang lain memiliki sesuatu. Adapun menurut istilah ia tidak keluar dari maknanya secara bahasa. Dan at-tamliik bisa berupa kepemilikan terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat, bisa dengan ganti atau tidak. Jika kepemilikan terhadap sesuatu terjadi dengan adanya ganti maka ini adalah jual beli. Jika kepemilikan terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti maka disebut persewaan. Jika kepemilikan terhadap sesuatu tanpa adanya ganti maka ini adalah hibah/pemberian. Adapun jika kepemilikan terhadap suatu manfaat tanpa adanya ganti maka disebut pinjaman
  • 3. Al ijarah al muntahia bit tamlik  (persewaan yang berujung kepada kepemilikan) yang terdiri dari dua kata adalah ;  sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.


Landasan Hukum Ijarah Muntahia Bittamlik Sebagai suatu transaksi yang bersifat tolong menolong, ijarah mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Quran dan Hadist. Landasan ijarah disebut secara terang dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 233 Allah menjelaskan bahwa :

”dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus membayar upah terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-anak disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan kita membayar upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan untuk menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang kita butuhkan. 

Fatwa MUI tentang Ijarah Muntahia Bittamlik antara lain:


  • 1. Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
  • 2. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (?????), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
  • 3. Bentuk Al – Ijaroh al muntahia bit Tamlik


Ada 2 bentuk Al – Ijaroh al muntahia bit Tamlik:

  • a) Hibah, yakni transaksi ijarah yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang secara hibah dari pemilik objek sewa kepada penyewa. Pilihan ini diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Sehingga akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank
  • b) Janji untuk menjual, yakni transaksi ijarah yang diikuti dengan janji menjual barang objek sewa dari pemilik objek sewa kepada penyewa dengan harga tertentu. Pilihan ini biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, maka akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, maka ia harus membeli barang itu di akhir periode. 


Hikmah Ijarah


Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehiduan manusia .Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Adapun hikmah diadakannya ijarah antara lain:

1. Membina ketentraman dan kebahagiaan

Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerja sama antara mu’jir dan mus’tajir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah.

Dengan transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman .

2. Memenuhi nafkah keluarga

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
Artinya: ”Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf ”. 

3. Memenuhi hajat hidup masyarakat

Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarkat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.

4. Menolak kemungkaran

Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran  yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh yang menganggur. Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Kesimpulan

Definisi akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu. Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang diperbolehkan oleh syara’, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak memperbolehkan Ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukan akad, tidak bisa diserahterimakan.

Rukun ijarah ada 4 yaitu: ‘Aqid ( orang yang akad), Shigat akad, Ujrah (upah), Manfaat. Syarat ijarah terdiri dari empat macam , sebagaimana syarat dalam jual beli, yaitu syarat Al-inqad ( terjadinya akad), syarat an-nafadz ( syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan. Definisinya: Istilah ini tersusun dari dua kata : At-ta’jiir / al-ijaaroh (sewa), At-tamliik (kepemilikan).

DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Muhammad Ibnu Rusd Al-qurthubi, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtashid, Juz 2, Da Al-Fikr, t.t.

1 Komentar untuk "PENGERTIAN IJAROH DAN KETENTUAN DI DALAMNYA"

Back To Top