Mahkamah konstitusi merupakan institusi kehakiman di Indonesia yang memiliki wewenang untuk melakukan judicial review (uji materiil) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Putusan yang dihasilkan oleh mahkamah konstitusi bersifat final, tidak memiliki upaya hukum untuk ditinnjau kembali.
Pada tanggal 13 Ferbruari 2012, dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang dibacakan tanggal 17 Februari 2012 terhadap gugatan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono tentang permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentangperkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempunyai pengaruh yang cukup besar di dalam penetapan beberapa hukum di Indonesia, khususnya beberapa aturan materil yang selama ini menjadi rujukan bagi Peradilan Agama.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan analisis dan tanggapan terhadap kedudukan anak yang lahir di luar nikah paska putusan MK tersebut. Juga memperjelas maksud dari frasa “anak yang lahir di luar nikah” dalam putusan tersebut.
B. PEMBAHASAN
a. Anotasi Putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemohon mendalilkan bahwa ianya dirugikan hak konstitusionalnya disebabkan dilakukan berbeda dimuka hukum terhadap status perkawinannya oleh undang-undang. Bahwa:
· Pernikahan yang dilakukan oleh pemohon adalah sah dan hal itu juga dikuatkan dengan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana tercantum dalam Amar Penetapan atas Perkara Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs tanggal 18 Juni 2008, halaman ke-5, alinea ke-5 yang menyatakan: Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pernikahan antara pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim) dengan sorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H. Mochtar Ibrahim, disaksikan oleh dua orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000 riyal, satu set perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs. Moerdiono.
· Pemohon merupakan pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundang-undangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1).
· Hak konstitusional pemohon yang telah dilanggar dan merugikan tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B Ayat (1) dan Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945.
Pemohon mangajukan permohonan kepada MK agar memutus:
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil pemohon untuk seluruhnya;
2. Meyatakan:
UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
|
Pasal 2 ayat (2): “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku“
|
Pasal 43 ayat (1): “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya“
|
Bertentangan dengan:
UUD 1945
|
Pasal 28 B ayat (1): “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah“
|
Pasal 28 B ayat (2): “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi“
|
Pasal 28 D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum“
|
3. Menyatakan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon.
Menurut Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, menyatakan bahwa:
- Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat membuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata memiliki hubungan darah dengan ayahnya.
- Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi. Pencatatan merupakan kewajiban administrative yang diwajibkan berdasarkan perundang-undangan.
b. Anak Luar Nikah
Penetapan asal usul anak dalam perspektif Hukum Islam memiliki arti sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun Hukum Islam memberikan ketentuan lain.
Terdapat tiga macam kelahiran anak dalam kalangan masyarakat Indonesia, yahni:
1. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
2. Anak yang lahir di luar perkawinan
3. Anak yang lahir tanpa perkawinan.
Untuk kasus Machicha, mengingat anak yang lahir itu sebagai hasil perkawinan dengan memenuhi syarat dan rukun secara agama, namun tidak dicatat, maka tergolong ke dalam kelahiran anak yang kedua. Yakni anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan adanya perkawinan, dan jika dilakukan menurut agama Islam, maka perkawinan yang demikian itu sah dalam perspektif fiqh Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun perkawinan.
Dengan demikian anak tersebut sah secara materiil, namun karena tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di Kantor Catatan Sipil, maka tidak sah secara formil.
Disebut anak luar nikah atau luar perkawinan, karena pekawinan itu dilakukan di luar prosedur pada Pasal 2 Ayat (2). Tidak bisa disamakan dengan anak hasil perzinaan, karena perbuatan perzinaan itu dilakukan sama sekali tanpa ada perkawinan, beda sekali anatara luar perkawinan dan tanpa perkawinan. Oleh karena itu, jika disebut “perkawinan”, sudah tentu dilakukan minimal sesuai Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan.
c. Hubungan Bapak dan Anak Luar Nikah
Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.
Anak yang dilahirkan tanpa kejelasan status ayah sering kali mendapat perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadapa anak yang keabsahan perkawinannya masih dipersengkatakan.
Merupakan suatu ketidakadilan jika seorang laki-laki yang telah melakukan suatu hubungan dengan seorang perempuan terlepas dari tanggung jawab. Apalagi selama ini anak yang di lahirkan di luar perkawinan mendapat stigma yang tidak baik di tengah masyarakat. Seorang anak yang seperti itu mesti mendapat perlindungan hukum dari Negara walaupun status perkawinan orang tuanya masih dipersengketakan.
Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 ini bersifat in abstracto (abstrak), sedangkan yang bersifat Inkonkrito adalah putusan pengadilan.
d. Tinjauan Penulis
1. Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974
Penulis sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam mempertimbangkan keberadaan pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974, bahwa pencatatan perkawinan legal meaningnya adalah sebagai syarat administatif perkawinan, tidak menentukan keabsahan sebuah perkawinan. Hanya saja agar pasal tersebut memiliki taring (kekuatan mengikat) maka redasinya seharusnya berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan hanya dapat dibuktikan keabsahannya setelah dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan” sebagaimana telah diakomodir dalam dalam pasal 7 ayat (1) Inpres. Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Pencatatan perkawinan tidaklah membatasi hak asasi seseorang, karena pembatasan melalui pencatatan perkawinan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis (vide pasal 28 J ayat (2) UUD 1945). Selain itu pencacatan perkawinan juga ditujukan untuk menjamin kepastian hak-hak yang ditimbulkan dari perkawinan seperti asal-usul anak.
Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien.
Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti
Aturan perkawinan nasional Indonesia yang sudah ditetapkan sejak tahun 1974 sampai saat ini masih menjadi sumber perdebatan dan apalagi tingkat kesadaran terhadap aturan tersebut oleh sebagian kelompok yang mendikotomikan antara aturan agama dengan aturan nasional masih sangat rendah.
Jadi, logikanya adalah bahwa Negara mengakui perkawinan sah jika perkawinan dijalankan sesuai dengan rukun dan syarat pernikahan di dalam agama dan kepercayaan masing-masing, hanya saja untuk menjamin kepastian terlaksananya aturan agama dan kepercayaan tersebut secara baik dan benar maka Negara mengikat kebebasan tersebut dengan aturan yang mewajibkan warga negaranya untuk membuktikannya melalui akta perkawinan yang otentik dikeluarkan oleh perangkat resmi yang telah disediakan Negara untuk itu.
Untuk setiap perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai dengan aturan agama dan kepercayaan masing-masing tetapi tidak dicatatkan kepada perangkat Negara yang ditentukan untuk itu, baik karena kondisi darurat ataupun karena kelalaian maka dibuka penyelesaian masalahnya melalui penetapan sahnya perkawinan oleh lembaga peradilan. Hanya saja jika kejadian tersebut didasarkan atas kelalaian maka yang bersangkutan mesti diberi sanksi (ta’zir dalam istilah pidana Islam yakni sanksi hukum atas perbuatan melanggar hukum negara) sebagai efek jera bagi pelaku yang telah melanggar hukum negara.
2. Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materil pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 sehingga pasal tersebut harus dibaca menjadi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan / atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”, sejalan dengan tujuan hukum Islam, yakni agar tercapainya maslahah.
Dalam islam dikenal konsep maslahah mursalah, yang artinya bahwa hukum-hukum yang dihasilkan dapat benar-benar memberikan manfaat dan menghilangkan kemudaratan (kerugian) bagi manusia.
Dengan demikian, penggunaan teori maslahah merupakan upaya untuk merealisasikam manfaat, menolah mudarat, dan menghilangkan kesusahan hidup manusia.
Sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi yang telah kita kemukakan sebelumnya, pertimbangannya sangat logis dan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan bagi anak di luar perkawinan tersebut agar dia mendapat jaminan kehidupan dan tidak lagi mendapat stigma negatif dalam pergaulan sehari-hari lantaran dosa kedua orang tuanya.
Anak memiliki hak yang mesti dipenuhi oleh orang tuanya. Selama ini anak di luar kawin hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya sehingga sebagai dampaknya anak mengalami tekanan batin dalam pergaulannya dan ayah biologisnya seolah-olah terlepas dari tuntutan hukum untuk bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah menyebabkan anak tersebut lahir ke dunia.
Pada zaman yang tingkat kecenderungan pelanggaran hukumnya semakin meningkat, maka perlu diantisipasi kebebasan individu dalam melanggar norma hukum yang telah ditetapkan oleh Negara. Sebagai organisasi kekuasan, Negara memiliki otoritas untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap warganya dalam rangka melindungi kepentingan umum atau kepentingan orang lain sesuai dengan norma hukum, sosial, dan agama (vide pasal 28 J UUD tahun 1945).
Pembatasan dimaksud dapat melalui pembebanan berupa kewajiban hukum terhadap orang yang telah melakukan pelanggaran hukum, sehingga dengan adanya ancaman diharapkan tidak terjadi lagi penyimpangan dari norma hukum yang telah ditetapkan. Seorang ayah biologis mesti ditarik oleh hukum untuk bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan terhadap anak biologisnya.
Perlindungan yang dimaksud adalah sebagai mana maksud pasal 13 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2002 mencakup perlindungan dari: diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, perlakuan salah lainnya.
Selanjutnya dalam pasal yang sama ayat (2) dijelaskan bahwa dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Maka kata orang tua di sini semestinya juga dimaknai dengan orang tua secara biologis sejauh dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti sah lain menurut hukum.
Penambahan pasal 43 ayat (1) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidaklah sebatas dengan hak perlindungan tetapi memiliki makna yang sangat luas sebagaimana halnya makna yang melekat pada anak sah.
Jika putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 43 ayat (1) dipahami setelah pasal tersebut melekat dalam satu kesatuan sebagai batang tubuh UU Nomor 1 tahun 1974, maka akan melahirkan makna yang sangat luas. Dimana anak luar perkawinan diakui asal usulnya oleh negara dengan laki-laki yang menjadi ayah biologisnya, sehingga dalam akta kelahiran anak tersebut (sebagai akta autentik yang dapat menerangkan asal usul seseorang anak vide pasal 55 UU Nomor 1 tahun 1974) dia diterangkan sebagai anak dari ibu dan ayah biologisnya.
Menurur penulis, putusan MK tersebut sudah sesuai, karena yang dimaksud dengan “anak di luar perkawinan” tersebut seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bukan merupakan anak hasil zina, melainkan anak dari hasil perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan. Jadi, anak hasil dari hubungan tersebut sudah sah menurut ajaran agama, sehingga tidak bisa dianggap mencederai norma agama.
C. KESIMPULAN
Bertolak dari uraian singkat diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya adalah:
a. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 terutama kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” tidak dapat diartikan sebagai anak yang lahir dari perzinaan, karena perzinaan sama sekali tidak tersentuh dengan perkawinan.
b. Uji materi yang dilakukan oleh MK melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, adalah kasus yang diajukan oleh Machicha Mochtar yang dinikahi oleh Drs. Moerdiono , keduanya menikah secara Islam, oleh karena itu keduanya tidak dapat dikelompokkan sebagai pasangan yang melakukan perzinaan. Dengan demikian putusan MK tidak dapat diterapkan untuk kasus-kasus perzinaan, dapat diterapkan untuk kasus-kasus lain sepanjang sama dengan kasus Machica Mochtar.
c. Pencatatan perkawinan tidaklah membatasi hak asasi seseorang, karena pembatasan melalui pencatatan perkawinan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Selain itu pencacatan perkawinan juga ditujukan untuk menjamin kepastian hak-hak yang ditimbulkan dari perkawinan seperti asal-usul anak.
d. Ketentuan yang mengatur tentang kehadiran anak yang sah adalah harus melalui perkawinan yang sah sesuai dengan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan demikian tidak ada dasarnya bahwa anak hasil perzinaan itu dihukumkan sebagai anak yang sah.
e. Paska diakuinya hubungan keperdataan antara anak biologis dengan ayah biologis, tidaklah berbenturan dengan ketentuan syara’, karena hubungan biologis yang dimaksud dalam keputusan MK tersebut tidak mencakup hubungan biologis antara bapak dengan anak hasil zina, melainkan hubungan ayah dengan anak hasil pernikahan yang sah menurut agama.
DAFTAR PUSTAKA
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan Edisi No. 75, 2012
Tag :
CONTOH MAKALAH
0 Komentar untuk "ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI “ANAK LUAR NIKAH”"