A. Pendahuluan
Sejarah merupakan potret manusia dari masa ke masa. Dari setiap tahapnya sejarah menjadi cerminan dari generasi ke generasi sesudahnya. Baik dalam bentuk kebaikan untuk diteladani maupun suatu hal yang buruk yang menjadi pelajaran untuk tidak dilakukan. Dalam konteks aktivitas ekonomi Islam, pemikiran dan prakteknya telah dilakukan sajak masa Islam itu sendiri. Yakni sejak Islam lahir di bawah kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw., dilanjutkan dengan khulafaurrasyidin dan masa-masa sesudahnya.
Sudah menjadi pengetahuan kita bahwa ekonomi Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam itu sendiri. Konsep perekonomian Islam merupakan konsep yang hadir dari pesan moral yang paling mendasar dari syariah itu sendiri yang bersumber dari Alquran dan Hadis. Dalam konteks inilah, wacana ekonomi Islam masih sangat relevan untuk dibahas, khususnya bagi masyarakat Islam saat ini. Sebagai cermin, juga rujukan cara berekonomi yang syar’i.
Berdasar pada pemikiran itulah makalah ini disusun. Dengan upaya untuk menampilkan kembali sejarah pemikiran ekonomi Islam, juga tradisi dan praktek yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh Islam pada masanya. Lebih dari itu, makalah ini juga mencoba memaparkan praktek perekonomian pada masa klasik untuk diambil pelajaran darinya.
B. Pembahasan
1. Praktek Ekonomi pada Masa Klasik
Jauh sebelum datangnya Islam, bangsa Arab telah terkenal dengan kehidupan perniagaannya. Kondisi geografis jazirah Arab yang didominasi dengan padang pasir dan tanah tandus dengan bebatuan, tampaknya menjadi alasan bagi mayoritas penduduk Arab untuk mengambil jalan perekonomian dengan berdagang.
Dalam melakukan transaksi perniagaan, seperti yang dipaparkan oleh Euis Amalia, bangsa Arab menerapkan kebiasaan ribawi, sabagai berukut:[1]
a. Seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan perjanjian bahwa pembayarannya akan dilakukan pada suatu tanggal yang telah disetujui bersama. Apabila pembei tidak dapat membayar tepat pada waktunya, suatu tenggang waktu akan diberikan dengan syarat membayar dengan jumlah yang lebih besar daripada harga awal.
b. Seseorang meminjamkan sejumlah uang selama jangka waktu tertentu dangan syarat, pada saat jatuh tempo, peminjam membayar pokok modal bersama dengan suatu jumlah tetap riba atau tambahan.
c. Antara peminjam dengan pemberi pinjaman melakukan kesepakatan terhadap suatu tingkat riba selama jangka waktu tertentu. Apabila telah jatuh tempo dan belum bisa membayarnya, peminjam diharuskan membayar suatu tingkat kenaika riba tertentu sebagai konpensasi tambahan tenggang waktu pembayaran.
Dengan demikian, perdagangan merupakan dasar perekonomian bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Berkenaan deng hal itu, prasayarat untuk melakukan transaksi adalah adanya alat pembayaran yang dapat dipercaya. Pada masa itu, jazirah Arab dan sekitarnya menggunakan alat pembayaran dinar dan dirham, yang merupakan satuan mata uang Romawi dan Persia, dua negara yang sangan berpengaruh di wilayah itu.
2. Tradisi dan Praktek Ekonomi pada Masa Rasulullah Saw.
Rasulullah adalah teladan yang paling baik. Seriap perkataan, perbuatan, hingga persetujuannya menjadi sunnah bagi umat Islam. Begitu juga dalam hal ekonomi, Rasulullah menjadi panutan yang sempurna.
Sebagaimana anggota suku Quraisy lannya, Rasulullah menekuni dunia perdagangan sebagai matapencahariannya. Dalam melakukan usaha dagangnya, Rasulullah menggunakan modal orang lain yang tidak mampu menjalankan usahanya sendiri. Dari hasil pengelolaan modal tersebut beliau mendapat upah atau bagi hasil sebagai mitra.[2]
Rasulullah sering malakukan perjalanan bisnis ke berbagai negeri, seperti Syiria, Yaman dan Bahrain untuk mempertahankan usahanya. Oleh penduduk Mekkah Rasulullah dikenal sebagai pedagang yang piawai dan jujur, hal in berimplikasi pada bertambahnya modal yang dipercayakan untuk dikelola oleh beliau.
Meskipun pada masa sebelum kenabian Rasulullah sudah di kenal sebagi seorang pebisnis, tatepi yang dimaksud perekonomian di sini adalah pada masa Madinah. Pada masa Mekkah masyarakat muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab pada masa itu penuh dengan perjuangan untuk membela diri dari intimidasi kafir Quraisy. Barulah pada periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri masyarakat madinah sehingga menjadi masyarakat yang sejahtera dan beradab.[3]
Meski masih terbilang sederhana, tetapi beliau telah menunjukkan prinsip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan perekonomian. Karakter umum perekonomian pada masa itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap etika dan moral, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan.
Untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai syari’ah Islam, yang berada pada jalur etika dan moralitas, Rasulullah mendirikan Al-Hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang bertugas sebagai pengawas pasar (market controller). Rasulullah juga membentuk Baitul Maal, sebuah instirusi yang bertugas mengelola keuangan negara. Dalam perekonomian Baitul Maal memegang peran penting, salahsatunya adalah dalam melakukan kebijakan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.
Setelah menyelesaikan masalah politik dan konstitusional, Rasulullah Saw merubah sistem ekonomi dan keuangan negara sesuai dengan ketentuan Alquran. Prinsip-prinsip kebijakan ekonomi yang dijelaskan Alquran adalah sebagai berikut:[4]
a. Allah Swt adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolute alam semesta. Manusia hanyalah khalifah Allah Swt di muka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya.
b. Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah seizing Allah Swt. oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung memiliki hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki manusia lain yang lebih beruntung.
c. Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun. Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
d. Menerapkan sistem warisan sebagai media re-distribusi kekayaan.
Adapun yang menjadi sumber pendapatan negara pada masa ini, di antaranya zakat, khums min al-ghanain (seperlima dari harta rampasan perang), jizyah (pajak perorangan kaum zimmi), kharaj (pajak hasil pertanian), fai, wakaf, sedekah, dan lain sebagainya.[5]
3. Tradisi dan Praktek Ekonomi pada Masa Khulafaurrasyidin
a. Masa Pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq
Setelah Rasulullah Saw wafat, kepemimpinan Islam dilanjutkan oleh khulafaurrasyidin. Dan Abu Bakar ash-shiddiq adalah khalifah Islam yang pertama. Adapun dalam usahanya, Abu Bakar meningkatkan kesejahteraan umat Islam dengan melaksanakan berbagai kebijakan ekonomi seperti yang telah dipraktekkan Rasulullah Saw. Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat ssehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan pembayarannya.
Hasil pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Mal untuk langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum muslimin hingga tidak ada yang tersisa. Dalam mendistribusikan harta Baitul Mal tersebut, Abu Bakar menerapkan prinsip kesamarataan, memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang terlebih dahulu memeluk Islam dengan sahabat yang baru memeluk Islam, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dengan wanita. Menurutnya, dalam hal keutamaan beriman, Allah Swt yang akan memberikan ganjarannya, sedangkan dalam masalah kebutuhan hidup, prinsip kesamaan lebih baik dari pada prinsip keutamaan.[6]
Dengan demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar, harta Baitul Mal tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum muslimin, bahkan ketika Abu Bakar ash-shiddiq wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum muslimin diberikan bagian yang sama dari pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorangpun yang dibiarkan dalam kemiskinan.
b. Masa Pemerintahan Umar ibn al-Khattab
Pada masa pemerintahan Umar ibn al-khattab yang berlangsung selama sepuluh tahun, Umar banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh Persia. Administrasi pemerintah diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Mekah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.
Khalifah Umar ibn al-khattab (40 SH – 23 H/ 584 – 644 M ) dipandang paling banyak melakukan inovasi dalam perekononian. Umar membangun Baitul Mal yang reguler dan permanen di ibu kota, kemudian dibangun cabang-cabang dan di ibu kota provinsi. Selain sebagai bendahara negara, Baitul Mal juga bertugas sebagai pelaksana kebijakan fiskal dan khalifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut.
Bersamaan dengan reorganisasi Baitul Mal, Umar mendirikan Diwan Islam yang pertama, yang disebut al-Diwan. Sebenarnya al-Diwan adalah sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun serta tunjangan lainnyadalam basis yang reguler dan tepat. Khalifah juga menunjukkan sebuah komite yang terdiri dari Nassab ternama untuk membuat laporan sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya.[7]
Untuk mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar ibn al-khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:
1) Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
2) Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Departemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif.
3) Departemen Pendidikan dan Pembangunan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
4) Departemen Jaminan Sosial. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.
Pada masa Pemerintahannya, Khalifah Umar ibn al-khattab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi empay bagian, yaitu:
1) Pendapatan zakat dan ‘ushr (pajak tanah). Pendapatan ini didistribusikan dalam tingkat lokal jika kelebihan pnerimaan sudah disimpan di Baitul Mal Pusat dan dan dibagikan kepada delapan ashnaf.
2) Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai mereka yang sedang mencari kesejahteraan, tanpa diskriminasi apakah ia seorang muslim atau bukan.
3) Pendapatan kharaj, fai, jizyah, ‘ushr (pajak perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer dan sebagainya.
4) Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar dan dana sosial lainnya.
Selain hal-hal tersebut, Khalifah Umar ibn al-khattab juga menerapkan beberapa kebijakan ekonomi lainnya, seperti:
1) Kepemilikan Tanah. Dalam memperlakukan tanah-tanah taklukan, Umar tidak membagi-bagikannya kepada kaum muslimin, tetapi membiarkan tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan syarat membayar kharaj dan jizyah. Ia beralasan bahwa penaklukan dilakukan yang pada masanya meliputi tanah yang demikian luas sehingga bila dibagi-bagikan dikhawatirkan akan mengarah kepada praktek tuan tanah.
2) Zakat. Khalifah Umar ibn al-khattab menetapkan kuda, karet, dan madu sebagai objek zakat karena, pada masanya, ketiga hal tersebut telah lazim diperdagangkan, bahkan secara besar-besaran sehingga mendatangkan keuntungan bagi para penjualnya.
3) ‘Ushr. Khalifah Umar ibn al-khattab menerapkan pajak ‘ushr kepada para pedagang yang memasuki wilayah kekuasaan Islam.
4) Mata uang. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn al-khattab, bobot mata uang dinar seragam, yaitu sama dengan satu mitsqal atau 20 qirat atau 100 grain barley.[8]
c. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Utsman ibn Affan pada enam tahun pertama melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijkan Umar ibn al-khattab. Dalam rangka pegembangan sumber daya alam, ia melakukan pembuatana saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan pembentukan organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan.
Khalifah Utsman ibn Affan tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara. Hal tersebut, menimbulkan kesalahpahaman dengan Abdullah ibn Arqam, bendahara Baitul Mal. Konflik ini tdak hanya membuat Abdullah menolak upah dari pekerjaannya, tetapi juga menolak hadir pada setiap pertemuan publik yang dihadiri Khalifah . permasalahan tersebut semakin rumit ketika muncul berbagai pernyataan kontroversi mengenai pengeluaran harta Baitul Mal yang tidak hati-hati. Khalifah Utsman ibn Affan tetap memoertahankan sistem pemberian bantuan dan santunan serta memberikan sejumlah besar uang kepada masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun meyakini prinsip persamaan dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, ia memberikan bantuan yang berbeda pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, dalam pendistribusian harta Baitul Mal, Khalifah Utsman ibn Affan menerapkan prinsip keutamaan seperti halnya Umar ibn al-khattab.
Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman ibn Affan mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman ibn Affan, tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman ibn Affan yang banyak menguntungkan keluarganya telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum muslimin. Akibatnya, pada masa ini, pemerintahannya lebih banyakdiwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah.
d. Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun sselalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai yang mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Menurut sebuah riwayat, ia secara sukarela menarik diri dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal. Selama masa pemerintahannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib menetapkan pajak terhadap hasil hutan dan sayuran.
Pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, berkaitan dengan kebijakan yang diambil selama enam tahun adalah:
1) Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada Baitul Mal, berbeda dengan Umar ibn Khattab yang menyisihkan untuk cadangan.
2) Pengeluaran angkatan laut dihilangkan.
3) Adanya kebijakan pegetatan anggaran.
4) Dan hal yang sangat monumental adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam, di mana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang dinar dari Romawi dan Dirham dari Persia.[9]
4. Tradisi dan Praktek Ekonomi Pada Masa Setelah Khulafaurrasyidin
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, berakhir pula masa Khulafaurrasyidin, yang dilanjutkan dengan kepemimpinan Bani Umayyah. Wilayah kekuasaan Islam pada masa ini sangat luas, karena keberhasilannya dalam melakukan ekspansi keberbagai daerah. Hal ini membentuk pola pemikiran ekonomi yang berbeda pula. Seperti berubahnya fungsi Baitul Mal, jika pada masa sebelumnya dikelola dengan sangat hati-hati sebagai amanat dari Allah Swt. dan amanat rakya, maka pada masa Bani Umayyah, Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan khalifah.[10]
Meski begitu, beberapa khalifah Bani Usmayyah juga menaruh perhatian terhadap pembangunan ekonomi, yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan umat Islam secara keseluruhan. Di antara khalifah-khalifah yang berpengaruh di bidang ekonomi pada masa Bani Umayyah adalah Khalifah Muawiyah ibn Abi Sofyan, Khalifah Abdul Malik ibn Marwan dan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz.
Khalifah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khalifah Umayyah. Dinasti ini meraih tampuk kekuasaan Islam setelah berhasil menggulingkan dinasti Umayyah pada tahun 750 H. Dalam bidang ekonomi, Bani Abbasiyah melahirkan lebih banyak ekonom dibanding pada masa Khulafaurrasyidin maupun masa Umayyah. Salah satu khalifah yang paling besar pengaruhnya adalah Khalifah Harun al-Rasyid. Ia memmbangun Baitul Mal untuk mengurus keuangan negara dengan menunjuk seorang wasir yang menjadi kepala beberapa diwan, yaitu:
a. Diwan al-Khasanah, bertugas mengurus seluruh perbendaharaan negara.
b. Diwan al-Azra’, bertugas mengurus kekayaan negara yang berupa hasil bumi.
c. Diwan Khazain al-Silah, bertugas mengurus perlengkapan angkatan perang.[11]
Meskipun kajian ekonomi bertebaran di sela kitab-kitab fiqh, namun pada masa ini sudah muncul beberapa karangan di bidang ekonomi, di antaranya:
a. Al-Karaj karya Abu Yusuf
b. Al-Kharaj karya Yahya ibn Adam al-Quraisy
c. Al-Amwal karya Abu Ubaid ibn Salam
d. Muqaddimah Ibn khaldun karya Ibn Khaldun.[12]
C. Kesimpulan
Ekonomi Islam pada dasarnya muncul pertama kali bersamaan dengan lahirnya ajaran Islam pada abad ke-7 karena ajaran Islam tidak hanya memberikan panduan ritual, namun juga dalam kehidupan bermasyarakat termasuk dalam aktivitas ekonomi.
Sejarah ekonomi Islam bersumber pada dari ide dan praktek ekonomi yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya serta pengikut-pengikutnya sepanjang zaman. Yakni praktek dan sistem ekonomi dan keuangan negara sesuai dengan ketentuan Alquran, yang menjunjung tinggi etika dan moral yang syar’i. Hal itulah yang membedakan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi sebelum datangnya islam, yaitu sistem yang penuh dengan praktek ribawi.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam; dari masa klasik hingga kontemporer, (Depok: Gramata Publishing, 2005)
Chamid, Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Iqbal, Zamir dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam; Teori dan Praktik, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008)
Nasution, Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif; Ekonomi Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), Cet. 3
Rozalinda, Ekonomi Islam; Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014)
Suprayitno, Eko, Ekonomi Islam; Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005)
UII, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2013), cet. 5
[1] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam; dari masa klasik hingga kontemporer, (Depok: Gramata Publishing, 2005), hlm. 73-74
[2] Ibid., hlm. 73-74
[3] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII, Ekonomi Islam, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2013), cet. 5, hlm. 97-98
[4] Euis Amalia, Op.Cit., hlm. 55
[5] Rozalinda, Ekonomi Islam; Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 52-53
[6] Euis Amalia, Op.Cit., hlm. 89-90
[7] Rozalinda, Op.Cit., hlm. 55
[8] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 75-92
[9] Ibid., hlm. 103
[10] Ibid., hlm. 108-116
[11] Euis Amalia, Op.Cit., hlm. 108
[12] Rozalinda, Op.Cit., hlm. 60-61
1 Komentar untuk "[CONTOH MAKALAH] SEJARAH EKONOMI ISLAM"
Setiap perjalanan sejarahnya ekonomi Islam terus mengalami perkembangan sehingga mampu diadaptasi keberbagai zaman yang terus berganti.