BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam sejak awal sejarah kemunculannya, dengan Sang Nabi Muhamad SAW sebagai tokoh sentral, sebagai agama kemudian secara cepat melahirkan sebuah komunitas masyarakat madani (civil society) bernegara-berperadaban di Madinah dimana dalam mata rantai sejarah peradaban Islam merupakan fase terpenting dibangunnya prinsip-prinsip utama dan dasar-dasar yang kokoh bagi terbangunnya sebauh peradaban baru tersebut dengan memberikan landasan-landasan ideologis-normatif maupun berbagai tata cara praktis sebagai sumber mata air keteladanan generasi-generasi berikutnya.
Termasuk hal tersebut di atas, masyarakat-negara yang dibangun oleh Nabi SAW telah memberikan bebeberapa latar belakang dan model awal instrumen-instrumen dan institusi-institusi yang menjadi menjadi pilar penting keberadaan sebuah masyarakat-negara. Maka jika dalam perspektif ilmu ketatanegaraan modern mengenal tiga lembaga kekuasaan Negara atau yang disebut sebagai trias politica yakni kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif maka ternyata Rasulullah SAW SAW telah mempraktekkan tiga bentuk institusi tersebut.
Harus adanya sifat adil adalah masalah perpolitikan, artinya tidak ada keharusan dlam perkara politik untuk berpegang dengan prinsip konstitusional bahwa tersangka bersih dari segala tuduhan hingga ada bukti yang membuktikan bahwa dia bersalah, itu adalah dasar terwujudnya keadilan dalam peradilan.[1]
Dalam konteks pengantar/pendahuluan di atas, tulisan ini akan berupaya mengeksplorasi sejarah salah satu institusi trias politica tersebut yaitu institusi judikatif (peradilan) di zaman Nabi. Kajian terhadap tema ini akan menemukan arti pentingnya karena dengan mengerti dan memahami sejarah awal dan konsepsi peradilan di zaman Nabi akan memudahkan siapa saja untuk lebih mengenal semangat keadilan yang dibawa oleh ajaran Islam itu sendiri dan pernah dipraktekkan melalui peradaban Islam selama berabad-abad.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana awal sejarah qadha (peradilan) Islam pada masa Rasulullah SAW?
2. Apa sumber hukum yang digunakan?
3. Apa contoh kasus dan penyelesaiannya?
4. Siapa yang menjadi hakim pada masa Rasulullah?
C. Tujuan penulisan
1. Memahami sejarah qadha (perdilan) Islam pada masa Rasulullah SAW
2. Mengetahui sumber hukum digunakan pada masa Rasulullah SAW
3. Memahami contoh kasus dan penyelesaiannya
4. Mengetahui siapa hakim pada masa Rasulullah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Qadha (Peradilan) Pada Masa Rasulullah SAW
Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, mulailah beliau menyampaikan risalah dakwah kepada penduduk Makkah, terutama masalah aqidah selama 13 tahun. Kondisi umat islam masih lemah, baik dari segi kuantitas maupun kekuatan. Berbagai tekanan dan penindasan terjadi, sehingga belum memungkinkan untuk melaksanakan berbagai ketentuan agama terutama masalah peradilan, kemudian Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW hijrah ke Madinah untuk melanjutkan risalah dakwahnya.
Berbeda dengan di Makkah, kondisi Madinah relatif stabil dan jumlah umat islam semakin banyak, sementara Rasulullah SAW dijadikan sebagai pemimpin oleh masyrakat Madinah baik umat islam maupun non-islam, sehingga sangat memungkinkan untuk melaksanakan berbagai ketentuan agama dan tuntunan syariah. Permasalahan semakin bertambah di masyarakat terutama masalah muamalah, dan setiap permasalahn yang terjadi senantiasa di hadapkan kepada Rasulullah SAW.[2] Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam firman Allah SWT yang artinya:
"Dan hendaklah kamu memutus perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkn kamu dari sebagian apa yang telh diturunkn Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yng telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagaimana dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik." (QS. Al-Maidh:49)
Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhammad SAW merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Segala perbuatan dan ucapannya juga diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa berikutnya.
Otoritas jurisdiksi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas juga ditekankan oleh Al-Quran sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’: 65.[3]
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. Al-Nisa:65)
Tidak ada seorang pun umat Islam selain Rasulullah sendiri yang men-tasyri'-kan hukum pada suatu kejadian, bak untuk dirinya maupun orang lain. Segal sesuatu yang berkaitan dengan hukum islam langsung ditanyakan dan diberi kata putus oleh rasulullah, tidak ada masyarakt yang berani melakukan ijtihd sendiri. Rasulullah memberi fatwa, menyelesaikn persengketan, menjawab pertanyaan-pertanyaan kadang dengan legitimasi satu atau beberapa ayat dari Al-Quran yang diwahyukan oleh Allah, dan kadang-kadang dengan ijtihad Rasulullah yang bersandar kepad ilham dari Allah, atau berdasar pada petunjuk akal bahats-nya serta penetapan penetapan terhadap masalah yang dimaksud. Hukum-hukum yang bersumber dari Rasulullah menjadi undang-undng bagi umat islam yang wajib diikuti. Baik hal tersebut bersumber dari wahyu Allah maupun hsil ijtihad Rsulullah sendiri.[4]
Kehidupan manusia pada setiap masanya selalu membutuhkan peradilan, sebab kalau tidak, maka kehidupan mereka akan menjadi liar. Dengan adanya undang-undang bagi kehidupan masyarakat belumlah cukup untuk menyelamatkan kehidupan sosial dan menertibkannya, karena manusia terkadang berselisih mengenai undang-undang tersebut, bahkn ada yang secara terang-terangan menentang rumusan undang-undang itu atau memungkirinya. Maka peradilanlah yang akan berperan menentukan makna undang-undang dengan secara sempurna.
Fungsi peradilan sebagai lembaga negara yang ditugasi untuk menyelasaikan dan memutuskan setiap perkara dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum. Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana.
Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa”. dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
B. Sumber Hukum Qadha (Peradilan)
Sumber utama peradilan pada masa Rasulullah adalah Wahyu Ilahi yang berwujud ayat-ayat hukum dalam Al-Quran, sedang sumber yang kedua ialah ijtihad Rasul yang berwujud hadits-hadits Rasul. [5]
Rasulullah SAW dalam memutuskan dan menetapkan perkara hukum berdasarkan petunjuk wahyu yang diturunkan Allah SWT. Demi tegaknya keadilan dan kejujuran, disamping berpegang kepada al-Quran, rasulullah SAW juga membuat berbagai ketetapan sebagai pegangan para hakim dalam menjalankan tugasnya dalam mengadili perkara. Ada empat perangkat hukum yang di jadikan panduan bagi qadhi dalam memberikan hak kepada yang berhak menerimanya:[6]
1. Pengakuan (ikrar) yaitu pengakuan seorang terdakwa terhadap semua dakwaan terhadapnya dengan jujur.
2. Bukti yaitu kesaksian para saksi sebagaimana di sebutkan dalam sebuah kaidah majalah alhakam aldhiyah yang bersumber dari sebuah hadis nabi Muhammad saw.paling sedikit saksi adalah 2 orang maka jika tidak ada 2 orang saksi cukup denagn satu saksi dengan sumpah.dalam al-quran allah swttelah menjelaskan berkaitan denagn saksiyaitu dua orang laki lakiatau satu laki laki dan dua orang perempuan.
3. Sumpah.suatu pernyataan yang khidmat, di ucapkan waktu member keterangan atau janji atas nama allah swt dengan menggunakan salah satu huruf qasam
4. Penolakan yaitu terdaka menolak untuk bersumpah sehingga ia tidak mengucapkan sumpahnya. Imam malik berpendapat tentang penolakan tertuduh untuk bersumpah, maka sumpah harus di kembalika kepada orang yang menuduh, apabila ia bersedia bersumpah. Maka hakim memutuskan perkaranya. Rasulullah SAW pernah mengembalikan sumpah tertuduh kepada yang menuduh.
Kemudian rasulullah juga mewanti-wanti tugas seorang hakim jangan sampai melakukan hal-hal yang dapat membuat keputusan yang salah karena sedang tidak stabil atau emosi dan faktor lainya seperti menerima suap dan lain-lain.
Harus adanya sifat adil adalah masalah perpolitikan, artinya tidak ada keharusan dlam perkara politik untuk berpegang dengan prinsip konstitusional bahwa tersangka bersih dari segala tuduhan hingga ada bukti yang membuktikan bahwa dia bersalah, itu adalah dasar terwujudnya keadilan dalam peradilan.[7]
C. Contoh Kasus Dan Penyelesainya
Ulama meriwayatkan banyak hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah SAW, berikut beberapa contoh dan penyelesaian kasus hukum yang pernh terjdi pada masa Rasulullah SAW:
1. Rasulullah SAW memutuskan perselisihan antara Abu Bakar dan Rabiah al Salami tentang tanah yang di dalamnya terdapat pohon kurma yang miring. Adapun batangnya di tanah Rabiah, sedangkan rantingnya di tanah Abu Bakar, dan masing masiang mengakui bahwa pohon tersebut miliknya, lalu keduanya pergi kepada Rasulullah SAW, maka belaiu memutuskan bahwa ranting menjadi milik orang yang memiliki batang pohon.
2. Khasa’ binti Khadam al Anshariyah dinikahkan oleh bapaknya sedangkan dia janda dan tidak menyetujuinya, lalu ia datang kepada Rasulullah SAW, maka belaiu membatalkan pernikahan tersebut, lalu berkata kepada Rasulullah SAW: ”saya tidak menolak sesuatu apa pun yang diperbuat ayahku, tapi saya ingin mengajarkan kepada kaum perempuan bahwa mereka memiliki keputusan terhadap diri mereka”
3. Seorang wanita ditalak suaminya, dan suaminya ingin mengambil anak darinya, lalu ia datang kepada nabi Muhammad SAW, maka beliu berkata kepadanya: “Engkau lebih berhak denganya, selama engkau tidak menikah.”
4. Onta Barra’ bin ‘Azib masuk kebun orang lain lalu membuat kerusakan di dalamnya, maka Nabi memutuskan: ”Pemilik taman harus menjaganya pada siang hari, dan apa yang di rusak oleh ternak pada malam hari menjadi tanggungan pemilik ternak.”[8]
D. Penunjukan Sahabat sebagai Qadhi (Hakim)
Di kota Madinah Rasulullah SAW menjadi hakim satu satunya, namun ketika wilayah islam meluas, maka Nabi mulai menugaskan para sahabat untuk menjadi gubernur di sebagian daerah dan sekaligus menjadi hakim. Mengingat jauhnya tempat yang memerlukan keputusan perkara dari kota Madinah. Di antara yang ditugaskan beliau adalah Muaz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib menjadi gubernur sekaligus menjadi hakim di yaman, Attab bin Asid di tugaskan ke Makkah, Ibn Hajjar al Asqalani menerangkan bahwa tiap-tiap daerah mempunyai hakim sendiri sendiri, namun rasulullah sangat teliti dalam memilih atau mengangkat sahabat dalam mengemban tugas sebagai hakim.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan mengenai sejarah qadha (peradilan) pada masa Rsulullah SAW di atas, dapat ditarik beberapa poin penting yang merepresentasikan saripati hasil kajian ini yaitu:
1. Peradilan pada zaman Nabi merupakan fase paling penting dalam sejarah peradilan Islam. Pada saat itu Nabi SAW merupakan pemegang otoritas jurisdiksi satu-satunya meskipun beliau juga pernah mendelegasikan tugas-tugas jurisdiksi tersebut kepada beberapa orang sahabat secara terbatas. Pada zaman itu lembaga peradilan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemegang kekuasaan pemeritahan secara umum.
2. Sistem peradilan yang dibawa oleh Nabi SAW, merupakan perkembangan yang jauh lebih maju dan teratur dibanding dengan peradilan di zaman Jahiliyah.
3. Sumber hukum yang menjadi referensi utama bagi pemegang otoritas jurisdiksi adalah wahyu -baik berupa al-Qur’an maupun Sunnah Nabi SAW- serta ijtihad. Peradilan di zaman Nabi dan yang dilakukan oleh Nabi sendiri merupakan penerjemahan langsung dari ayat-ayat dan sunnah qawliyah Nabi yang diimplementasikan dalam praktik-praktik yang ideal.
4. Proses peradilan zaman Nabi SAW berlangsung sangat sederhana dan tidak berbelit-belit, namun justru lebih mementingkan substansi dari pada prosesi.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, pemakalah menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca dan penyimak dari makalah ini sangan diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Ikhtisar dan Dokumentasinya, Bandung: Marja, 2005
Alaidin Koto, et.al., Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011
Farid Abdul Khliq, Fikih Politik Islam, Jakarta: Amzah, 2005
Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Jilid 5
Inu Kencana Syafi'i, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur'an, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta Sinar Grafika, 2007
[1] Farid Abdul Khliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 115-116
[2] Alaidin Koto, et.al., Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 37
[3] Ibid., hlm. 39
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Ikhtisar dan Dokumentasinya, (Bandung: Marja, 2005), hlm. 13
[5] Ibid., hlm. 25
[6] Alaidin Koto, et.al., Op.cit., hlm. 39-45
[7] Farid Abdul Khliq, Op.cit., hlm. 115-116
[8] Ibid., hlm. 49
1 Komentar untuk "[CONTOH MAKALAH] SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH SAW"
Terimakasih Contoh makalahnya ya, sangat membantu