[MAKALAH] PERADILAN AGAMA DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI

PERADILAN AGAMA DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI


PERADILAN AGAMA DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI


A.    Pendahuluan

Peradilan agama merupakan pranata sosioal hukum Islam. Keberadaannya telah ada jauh sebelum Negara Republik Indonesia merdeka. Meski dalam bentuk yang sangat sederhana dan penamaan yang berbeda-beda, namun eksistensinya tetap dibutuhkan oleh masyarakat muslim Indonesia. Hal ini karena peradilan agama tidak hanya menjadi jalan terakhir dalam penyelesaian suatu sengketa yang terjadi pada masyarakat muslim, namun sekaligus juga sebagai penjaga eksistensi dan keberlangsungan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia.

Meskipun secara normatif keberadaannya merupakan sebuah keharusan dalam komunitas masyarakat muslim Indonesia, akan tetapi mengingat Indonesia bukan merupakan negara Islam, maka keberadaannya tidak dapat dilepaskan dengan paradigma sistem dan dinamika hukum yang terjadi serta berkembang di negara hukum Indonesia.

Meski faktor budaya masyarakat muslim lebih kuat pengaruhnya terhadap keberadaan peradilan agama, namun tetap saja faktor politik hukum tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang peradilan agama. Dinamika politik ini juga terjadi pada pertengahan tahun 1990-an, tepatnya ketika tahun 1998 terjadi reformasi, yakni beralihnya Orde Baru ke Era Reformasi. Sebagai bagian dari sistem hukum dan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, maka peradilan agama sudah barang tentu mendapat pengaruh dari dinamika politik tersebut.

Peradilan agama telah mengalami pasang surut sejak pembentukannya, yakni baik dari segi panamaan, status dan kedudukan, maupun kewenangannya. Begiru juga pada Era Reformasi. Untuk mengkaji peradilan agama pada Era Reformasi, maka dalam makalah ini akan diuraikan mengenai gambaran sosio-historis peradilan agama pada masa itu, status dan kedudukan, Serta kewenangannya, sarta isi dari perubahan yang terjadi.

B.     Peradilan Agama Era Reformasi

Era reformasi merupakan bentuk kesadaran dari semua elemen masyarakat yang sadar dan tergugah untuk kembali kepada hakikat sebenarnya dari bangsa/negara Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, yakni dihormatinya supremasi hukum dalam kehidupan masyarakat.

Reformasi di Indonesia muncul akibat terjadinya krisis multidimensi yang menimpa sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara. Tidak segera diselesaikannya krisis tersebut, muncullah gerakan reformasi tahun 1998. Meskipun awalnya reformasi terfokus pada tatanan politik, akan tetapi tidak bisa dipisahkan dengan aspek hukum.

Dalam ruang lingkup hukum, sasaran yang tepat dalam menerjemahkan makna reformasi adalah membentuk dan  melakukan pembaruan hukum (legal reform), di mana hukum dapat memberikan perlindungan yang semestinya terhadap seluruh masyarakat.

Hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa. Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis dimana transparasi, supremasi hukum dan promosi, juga perlindungan HAM dikesampingkan.

Sebagaiman diketahui bahwa salah satu agenda reformasi adalah supremasi hukum, sebab lemahnya penegakan hukum dan ketidak mandirian lembaga peradilan yang terjadi pada era sebelumnya. Hal ini menghasilkan TAP MPR NOMOR X/MPR/1998 yang menharuskan Pemerintah untuk segera meninjau ulang ketentuan yang telah membagu dua penanganan lembaga peradian antara institusi eksekutif di satu bidang dan institusi yudikatif pada bidang yang lain.

Yang menjadi sasaran utama TAP MPR tersebut adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentnag Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakima. Untuk itu, pada tahun 1999 Pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 sebagai amandemen tehadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.

Sebagai konsekuensi dari diundangkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut, diletakkannya kebijakan bahwa, segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini dalam istilah populernya biasa disebut “kebijakan satu atap (one roof sysem)”.

Namun, seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi di Negara Indonesia, Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut kemudian diubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Bahkan untuk mempercepat proses peralihan lembaga-lembaga peradilan tersebut, dipertegas lagi dalam ketentuan peralihan pasal 42 Undang-undang ini bahwa pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dalam lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004, Peradilan Agama tanggal 30 Juni 2004 dan Peradilan Militer tanggal 30 Juni 2004.

Sedangkan untuk badan peradilan agama yang sejak lama berada di bawah Departemen Agama, bahkan dalam hal-hal tertentu tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan Departemen Agama secara khusus dan dengan umum termasuk majelis ulama. Maka, khusus untuk badan peradilan agama mengingat sejarah peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.

Meskipun demikian, tatap saja sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial tersebut, semua pegawai Direktorat Badan Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Hal ini juga berlaku bagi pegawai yang menduduki jabatan structural Direktorat Badan Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pejabat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung.

Bila dilihat secara komprehensif, perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut di atas, sejalan dengan semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia, yang bertujuan antara lain menempatkan hukum pada posisi yang paling tinggi dan yang sering disebut sebagai supremasi hukum.

Tonggak baru bagi badan peradilan agama pasca perubahan UUD 1945, selain sudah berada satu atap di bawah Mahkamah Agung sesuai perintah Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 jo. Undang-undnag Nomor 4 Tahun 2004, juga diberikan kewenangan baru bagi peradilan agama setelah dilakukaknnya amandemen terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yakni dengan keluarnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.

Bagi peradililan agama, amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak semata-mata berorientasi pada penambahan kewenangan pada bidang Ekonomi Syari’ah, akan tetapi, secara makro lebih disebabkan karena implikasi dari berubahnya sruktur hukum yang terkait dengan kekuasaan yudikatif, termasuk paradilan agama sebagai akibat dari adanya reformasi hukum di Indonesia.

Karena itu, berubahnya UUD 1945 memberikan implikasi pada perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Begitu pula halnya dengan undang-undang yang mengatur tentang peradilan agama, dengan adanya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, maka secara otomatis meniscayakan adanya perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Atas dasar inilah, kemudian lahir Undang-undang Nomor 6 Tahun 2006.

C.    Isi Perubahan UU Peradilan Agama


Perubahan yang dibawa oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 terhadap Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdiri dari 42 butir pada batang tubuh, meliputi 39 perubahan pasal dan penambahan 3 pasal baru. Sedang pada penjelasan terdapat 3 perubahan, yaitu 1 penghapusan dan 2 penambahan.

Dari perubahan 39 pasal tersebut, terdapat 6 perubahan yang kiranya perlu untuk digarisbawahi, yaitu:


  1. Perubahan Pasal 2 tentang pengahpuan kata “perdata”
  2. Perubahan Pasal 13 tentang persyaratan calon hakim dan persyaratan hakim
  3. Perubahan Pasal 18 tentang usia pension hakim
  4. Perubahan Pasal 44 tentang panitera tidak merangkap sekretaris
  5. Perubahan Pasal 49 tentang kewenangan peradilan agama
  6. Perubahan Pasal 50 tentang penyelesaian sengketa milik.
  7. Perubahan pada pasal-pasal lainnya pada umumnya perubahan dalam rangka menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi: “Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.”

Selain perubahan karena hal tersebut di atas juga perubahan karena pengurangan persyaratan masa kerja seperti untuk diangkat sebagai ketua atau wakil ketua pengadilan tinggi agama, atau peningkatan persyaratan untuk diangkat sebagai panitera pengadilan agama, ayau perubahan teks redaksi sumpah hakim.

D.    Status dan Kedudukan Peradilan Agama

Secara yuridis konstitusional, di Indonesia dikenal adanya 4 lingkungan peradilan, yaitu lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, dan lingkungan Peradila Tata Usaha Negara.

Oleh karena itu, berbicara mengenai peradlan agama berarti berbicara soal hukum, bukan berbicara soal agama, karena peradilan agama merupakan institusi yudisial, bukan institusi keagamaan.

Hal ini dikonstruksi dari pemahaman yuridis, di mana peradila agama dalam UUD 1945 didudukkan pada BAB IX, di bawah judul Kekuasaan Kehakiman, bukan pada BAB XI di bawah judul Agama. Selain itu, dalam konsoderans Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) pada bagian mengingat, Pasal UUD 1945 yang dicantumkan antara lain Pasal 24 dan 25, yang nota bene mengatur mengenai kekuasaan kehaliman, bukan Pasal 29 yang mengatur mengenai agama.

Status dan kedudukan peradilan agama pada mas areformasi sudah semakin kuat. Begitu pula halnya dengan kewenangan yang dimilikinya sudah semakin luas. Dari sisi status dan kedudukan, ia tidak lagi dibedakan dengan badan peradilan lain yang ada di Indonesia. Dalam hal-hal tertentu, misalnya menyangkut sengketa keperdataan antar orang Islam, sudah tidak lagi bersinggungan dengan peradilan umum, melainkan sudah bisa memutuskan secara langsung.

Selain itu, dari segi kewengan yang dimiliki semakin luas, tidak lagi sebatas NTCR, tatapi sudah menyangkut persoalan sengketa bidang ekonomi syari’ah, zakat dan infak, serta memutuskan isbat rukyat hilal. Bahkan peradilan agama era reformasi juga dimungkinkan menyelesaikan persoalan menyangkut bidang pidana.

Namun demikian, peradilan agama sebagai salah satu institusi peradilan yang juga berfungsi sebagai instrument untuk mewujudkan supremasi hukum pada masa reformasi ini, sesungguhnya masih menyisakan berbagai macam persoalan, baik menyangku tentang optimalisasi peran institusi/kelembagaan maupun menyangkut sumber daya manusia/hakim.

Sehubungan dengan adanya kompetensi baru di bidang ekonomi syari’ah, termasuk masalah belum tersusunnya hukum materiil dalam bentuk undang-undang yang menyangkut tentang keseluruhan kewenangan peradilan agama, baik untuk ekonomi syari’ah maupun untuk bdang kewenangan lainnya.

Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan sumber hukum materiil peradilan agama, perlu dicari strategi yang teapat agar setiap keputuan hakim / peradilan agama memiliki dasar hukum dan/atau pertimbangan yang jelas.

Perubahan signifikan yang terjadi atas eksistensi peradilan agama dalam status dan kedudukannya sebagai bagian utuh pelaksana kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan nasional ini telah memiliki legitimasi konstitusional dan legal formal. Dengan artian bahwa eksistensi peradilan agama baik dari segi status dan kedudukan telah menjadi setara dengan badan peradilan lainnya.

E.     Kewenangan Peradilan Agama

Peradilan agama merupakan salah satu dari peradilan negara Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia. Berkaitan dengan Hukum Acara Perdata, kekuasaan dan kewenangan peradilan agama menyangkut dua hal, yaitu: kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut.

Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalm perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan. Mengenai kekuasaan absolut, yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.

Kata wewenang atau kekuasaan pada umumnya dimaksudkan adalah kekuasaan absolute. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan kekuasaan absolute sering disingkat dengan kata kekuasaan saja.

Disebutkan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan memutuskan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang berdasarkan hukum Islam, serta wakaf, dan sedekah.

Pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, terdapat tambahan perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama, yakni ekonomi syari’ah.

Sekalipun perkara yang diajukan termasuk kompetisi absolut lingkungan peradialn agama, belum tentu pengadilan agama yang menrima gugatan kompeten atau berwenang untuk memeriksa dan mengadili. Faktor yang menjadi pembatasan kewenangan relatif masing-masing peradilan pada setiap lingkungan peradilan adalah faktor wilayah hukum.

Setiap pengadilan agama hanya berwnang mengadili perkara yang termasuk ke dalam kewenangan wilayah hukumnya. Seperti yang yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, bahwa daerah hukum pengadilan agama meliputi wilayah kabupaten/ kota.

F.     Kesimpulan

Merujuk dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

Lahirnya Udang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agma adalah dalam rangka memantapkan dan menegaskan kedudukan peradilan agama

sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dan perkemabangan hukum nasional.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut, kewenangan Pengadilan Agama diperluas menjadi mempunya kewenangan absolute menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.

Perubahan yang dibawa oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 terhadap Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdiri dari 42 butir pada batang tubuh, meliputi 39 perubahan pasal dan penambahan 3 pasal baru. Sedang pada penjelasan terdapat 3 perubahan, yaitu 1 penghapusan dan 2 penambahan.

DAFTAR PUSTAKA

Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2008)

Atmasasmita, Romli, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, (Bandung: Bandar MAju, 2001)

Djalil,  Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), cet 2

Harahap,  Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), cet. 4

Hasan, Hasbi, Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi No. 73, 2011

Manaf, Abdul, Refleksi Beberapa Materi Cara Berbicara di Lingkungan Peradilan Agama, (Bandung: CV Mandar Maju, 2008)

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. 3

Rosyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2013), cet. 15

Zarkasyi, Muchtar, Kumpulan Makalah Ekonomi Syari’ah, (MA RI; DJBPA, 2007)


0 Komentar untuk "[MAKALAH] PERADILAN AGAMA DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI"

Back To Top