Wakaf merupakan salah satu bentuk kegiatan ibadah sunnah yang sangat dianjurkan bagi umat Islam. Sebagai suatu amalan ibadah kepada Allah SWT, pahala wakaf akan selalu mengalir meskipun sang wakif telah wafat. Selain itu, wakaf mempunyai fungsi lain yaitu sebagai amal sosial.
Wakaf adalah ibadah yang diutamakan dalam Islam sebagai taqorrob (pendekatan) diri kepada Allah SWT, sekaligus modal dalam perkembangan dan kemajuan agama Islam. Mewakafkan harta yang dimiliki, maka manfaat yang akan diperoleh lebih dari bersedekah atau berderma, sebab harta wakaf bersifat abadi dan hasilnya dapat terusmenerus dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.
Dalam Al-Qur`an surat Al-Hajj ayat (22): 77 Allah memerintah kepada orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya agar tunduk kepada Allah SWT dengan bersujud dan beribadah kepada-Nya dengan apapun yang dapat digunakan untuk menghambakan diri kepada-Nya. Di samping itu, mereka juga diperintah untuk selalu berbuat kebaikan agar memperoleh keuntungan dan mendapatkan pahala serta keridhaan-Nya.
Salah satu perbuatan baik yang diperintahkan dalam ayat tersebut dapat dilakukan dengan melalui wakaf sebab jika seseorang mewakafkan harta benda yang dimilikinya, berarti dia telah melaksanakan kebaikan tersebut dan pahalanya terus mengalir selama harta benda wakaf tersebut bermanfaat.
Islam telah mengatur hal-hal tentang wakaf baik dalam syarat dan rukun maupun dalam pelaksanaannya dalam rangka untuk membantu mewujudkan kesejahteraan sosial yang manfaatnya dapat dinikmati bersama-sama. Namun dalamkenyataannya masyarakat kita banyak yang belum mengetahui hal tersebut dan melakukan wakaf sesuai dengan pemahaman mereka sendiri, dengan kata lain pelaksanaan wakaf masih belum tertib dan efisien.
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan wakaf, khususnya yang terjadi di Indonesia. Bermula dari pemaparan mengenai pengertian dari wakaf, sejarah, dasar hukum wakaf, syarat dan rukun wakaf, serta ditutup dengan pemaparan mengenai wakaf yang ada di Indonesia.
Pengertian Wakaf
Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa arab “waqafa” yang artinya “menahan” atau “berhenti” atau “diam ditempat”. Kata “waqafa (fiil madi) -yaqifu (fiil mudari)-waqfan (isim masdar) sama artinya dengan “habasa-yahbisu-tahbisan” artinya mewakafkan (Munawir, 2002: 1576). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Selain itu dikatakan menahan juga karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang berhak atas wakaf tersebut (Qahaf, 2005: 45).
Para ahli fiqh mempunyai pandangan yang berbeda terhadap definisi wakaf. Berikut beberapa definisi wakaf menurut ulama fiqh (Departemen RI, 2007: 2-3):
- Menurut Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan baik menjual, menghibahkan atau mewariskan kepada siapapun.
- Menurut Mahzab Hanafi, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaat untuk kebajikan. Berdasarkan definisi tersebut maka kepemilikan atas benda wakaf tetap menjadi milik si wakif dan yang timbul dari wakif hanyalah menyedekahkan manfaatnya untuk digunakan oleh penerima wakaf.
- Menurut Mazhab Malikiyah, wakaf adalah tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaat serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.
- Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah seketika, dan untuk penggunaannya yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapat ridha Allah (Basir, 1987: 5).
- Dari berbagai rumusan pengertian tentang wakaf, dapat diartikan bahwa wakaf adalah menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau Nazhir (pemelihara atau pengurus wakaf) atau kepada suatu badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya dipergunakan sesuai dengan ajaran Islam. Benda yang diwakafkan tidak lagi menjadi hak milik yang mewakafkan dan bukan pula milik tempat menyerahkan, tetapi menjadi milik Allah.
Sejarah Wakaf
Dalam sejarah Islam wakaf dikenal sejak zaman Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah Nabi Muhammad berhijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriah. Pada tahun ketiga Hijriyah Rasulullah pernah mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah di antaranya adalah kebun a’rof, syafiyah, dalal, arqoh, dan kebun lainnya. Kemudian hukum wakaf diikuti oleh para sahabat Nabi seperti Abu Bakar mewakafkan sebidang tanahnya di Makkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya, Umar bin Khattab mewakafkan kebun bairaha, Usman bin Afwan mewakafkan tanah yang subur.
Pada masa dinasti Islam praktek wakaf menjadi lebih meluas yaitu pada masa dinasti Umaiyah Taubah bin Ghar al Hadhramini. Pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik telah didirikan lembaga wakaf di Basrah dan pada masa dinasti Abasiyah juga terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “Shadr al-Wuquuf”. Lembaga ini mengurus administrasi dan memilih staf pengelola wakaf untuk mengelola wakaf dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir pekembangan wakaf cukup menggembirakan di mana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf yang dikelola oleh negara yang menjadi milik negara. Pada masa dinasti Mamluk perkembangan wakaf juga berkembang pesat dan beraneka ragam harta wakaf sehingga apapun yang bisa diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Karena itu, sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negara muslim, termasuk di Indonesia.
Wakaf Berdasarkan Hukum Islam
Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya ajaran wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat Al-Qur’an dan juga As-Sunnah. Tidak ada dalam ayat Al-Qur’an yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Yang ada adalah tentang pemahaman konteks terhadap ayat Al-Qur’an yang dikategorikan sebagai amal kebaikan. Ayat-ayat yang dipahami berkaitan dengan wakaf sebagai amal kebaikan di antaranya terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Haj ayat 77 yang artinya: “Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”
Al Qurthubi mengartikan “berbuat baiklah kamu” dengan pengertian perbuatan baik itu adalah perbuatan sunnah bukan perbuatan wajib, sebab perbuatan wajib adalah kewajiban yang sudah semestinya dilakukan hamba kepada Tuhannya. Salah satu perbuatan sunnah itu adalah wakaf yang selalu menawarkan pahala di sisi Allah. Bunyi akhir dari ayat di atas adalah “mudah-mudahan kamu sekalian beruntung” adalah gambaran dampak positif dari perbuatan amal kebaikan termasuk wakaf.
Ayat lain yang menjelaskan tentang wakaf antara lain terdapat dalam ayat-ayat berikut:
Surat Ali Imron ayat 92
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”. (QS: Ali Imron: 92) (Departemen Agama, 1998: 63)
Surat Al-Baqarah ayat 261
“Perumpamaan (nafakah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafakahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah maha kuasa (karunia-Nya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS: al-Baqarah: 261).
Surat Al-Baqarah ayat 267:
“Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan kamu akan memicingkan mata padanya, dan ketahuilahbahwa Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah: 267)
Para ulama berselisih paham mengenai makna “nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik”. Sebagian ulama mengartikan ayat tersebut hubungannya dengan sedekah wajib (zakat). Sebagian yang lain mengartikan, ayat tersebut membicarakan tentang sedekah sunnah untuk kepentingan Islam secara umum. Perbedaan ulama tersebut berkisar pada sedekah wajib dan sunnah, tapi keduanya tetap dalam koridor membela kepentingan orang Islam yang lain (sosial). Sedangkan yang dimaksud “hasil usaha yang baik” adalah hasil usaha pilihan dan halal.
Dari pengertian di atas tersirat makna perintah memberikan sebagian dari hasil usaha yang halal dan terbaik untuk kepentingan umum di luar kepentingan pribadi. Artinya, urusan Islam secara umum mendapat perhatian lebih. Perhatian itu tesirat dari harta yang diberikan adalah yang terbaik, pilihan, dan halal. Hal ini bertentangan dengan kenyataan yang banyak terjadi. Sedekah, baik sedekaah waib maupun sedekah sunnah (termasuk wakaf) banyak yang diambil dari harta yang tidak produktif dan efektif. Akibatnya nilai sedekah terbengkalai (Anshori, 2006: 21).
Adapun dasar amalan wakaf yang tercantum dalam Hadist antara lain:
“Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda: ‘Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah’, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang mendoakan orang tuanya” (HR. Muslim)
Ada hadist Nabi yang lebih tegas menggambarkan dianjurkan ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar:
“Dari Ibn Umar ra. berkata, bahwa sahabat Umar ra memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: ‘Ya Rasulallah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintah kepadaku?’ Rasulullah menjawab: ‘Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya)’. Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepntasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim).
Ada diriwayatkan dari Abu Yusuf, bahwa setelah ia mendengar khabar Umar bahwa “bumi tersebut tidak boleh dijual”, maka menolak ucapan Abu Hanifah mengenai penjualan barang wakaf, dan berkata: kalau Abu Hanifah mendengar Khabar tersebut, pastilah akan berkata seperti itu pula (As’ad, 1979: 344).
Dilihat dari beberapa ayat Al-Qur’an dan hadist Nabi yang menyinggung tentang wakaf tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sehingga ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihadi, bukan ta’abbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.
Meskipun demikian, ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fiqh Islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihad) mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad seperti qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain. Penafsiran yang sering digulirkan oleh para ulama, bahwa wakaf ini sangat identik dengan shadaqah jariyah, yaitu suatu amal ibadah yang memiliki pahala yang terus mengalir selama masih bisa dimanfaatkan oleh kehidupan manusia.
Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah ijtihadi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis, fururistik (berorientasi pada masa depan). Sehingga dengan demikian, ditinjau dari ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari muamalah yang memiliki jangkauan yang sangat luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah.
Memang ditinjau dari kekuatan hukum yang dimiliki, ajaran wakaf merupakan ajaran yang bersifat anjuran (sunnah), namun kekuatan yang dimiliki sesungguhnya begitu besar sebagai tonggak menjalankan roda kesejahteraan masyarakat banyak. Sehingga dengan demikian, ajaran wakaf yang masuk dalam wilayah ijtihadi, dengan sendirinya menjadi pendukung non manajerial yang bisa dikembangkan pengelolaannya secara optimal (Direktoran Pemberdayaan Wakaf, 2007: 27).
Wakaf Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia
Di Indonesia, perwakafan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sejak tahun 1905. Sebelum Lahirnya Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Hukum dan Perundang-undangan perwakafan di indonesia sampai sa’at ini belum meliputi seluruh bentuk perwakafan. Selama ini, baru terdapat peraturan pemerintah tentang perwakafan tanah milik yang merupakan kelanjutan dari Undang-Undang Pokok Agraria, Khususnya pasal 49 (1).
Sejak Islam datang ke indonesia, wakaf telah dilaksanakan berdasarkan faham yang dianut oleh masyarakat Islam sesuai dengan faham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan. Baru pada tahun 1905 dikeluarkan sirkulir oleh pemerintah Hindia Belanda yang termuat dalam BS No. 6196 tanggal 31 Juni. BS tersebut pun baru mengatur perwakafan masjid dan rumah suci. BS tesebut, antara lain, mengatakan bahwa bagi mereka yang ingin melaksanakan wakaf diharuskan terlebih dahulu meminta izin kepada Bupati. Akan tetapi peraturan ini dianggap oleh masyarakat Islam sebagai alat untuk membatasi ibadah mereka. BS itu pun memerintahkan bupati supaya mendaftarkan tanah-tanah wakaf dan masjid-masjid.
Tanggal 4 juni 1931 dikeluarkan kembali BS No. 12573 yang bukan saja mengatur masjid, melainkan juga secara tegas menyebut wakaf Bedehuizen Mooskien en Wakaps. Sirkulir ini mengatur tanah wakaf. BS tersebut menyatakan bahwa tanah yang akan dibangun masjid di atasnya harus terlebih dahulu dimintakan izin oleh si wakif dari penguasa. Dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda. Permintaan izin tersebut dimaksud agar tanah yang di bangun masjid di atasnya itu di kemudian hari tidak terganggu atau tergusur untuyk pembangunan kota.
Dengan demikian, prosedur perizinan wakaf sebagaimana diatur dalam ini menyebutkan bahwa apabila izin pembangunan tanah wakaf dipandang oleh bupati akan mengganggu ketertiban, maka bupati dapat menentukan tempat lain untuk pembangunan Masjid itu. BS ini pun mengalami nasib yang sama seperti BS sebelumnya, karena masyarakat Islam masih menganggapnya sebagai upaya pembatasan ibadah mereka.
Menyusul BS di atas, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan lagi BS tanggal 24 Desember 1934 bernomor 13390. BS ini bukan saja mengatur wakaf tanah dan pembangunan masjid, melainkan juga mengatur perizinan solat Jum’at (vrijdagediesten en wakaps). BS terakhir ini pun tidak mendapat sambutan masyarakat Islam. Tanah wakaf tetap tidak terdaftar, kecuali sebagian kecil saja. Walaupun BS ini tidak lagi mengharuskan si wakif untuk meminta izin kepada pemerintah, tetapi mereka harus melaporkannya kepada kantor notaris untuk meminta akta notaris.
Tahun 1935 kembali pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan BS No. 113480 yang memerintahkan bupati untuk mendaftarkan tanah wakaf, dan orang yang akan mewakafkan tanahnya harus lebih dahulu melaporkannya kepada bupati. Bupati kemudian melaporkannya kepada Kadaster, Kadaster melaporkannya kepada bagian pajak agar membebaskan beban pajak atas tanah yang di wakafkan itu. BS ini tidak lagi mengharuskan permintaan izin perwakafan dari si wakif kepada pemerintah, melainkan mencukupkan dengan keharusan memberikan pemberitahuan kepada Bupati melalui kepala desa dan camat, kecuali bila bupati memandang bahwa perwakafan tanah dan pembangunan masjid di atasnya akan mengganggu ketertiban dan kepentingan umum, ia berhak menentukan lain.
Main idea BS tahun 1935 ini kiranya hampir sama dengan apa yang terkandung dalam PP No. 28 Tahun 1977. BS ini sekali lagi tidak mendapat sambutan masyarakat Islam secara menggembirakan. Apalagi BS ini tidak disertai dengan sanksi hukum bagi pelanggarnya. Padahal, konon kabarnya, BS ini dibuat dengan sesuai keyakinan masyarakat Islam pada zamannya bahwa wakaf itu harus mu”abbad (kekal) sehingga pemerintah memandang perlu mengeluarkan peraturan yang menjamin terlaksananya keyakinan tersebut dan lembaga wakif tidak terganggu bila ada kepentingan umum lainya, seperti pelebaran jalan dan perluasan perkotaan, atau kepentingan umum lainnya.
Lahirnya Undang Undang pokok Agraria di zaman kemerdekaan, yaitu Nomor 5 tahun 1960 yang merupakan unifikasi hukum tanah di seluruh indonesia (Daerah istimewa yogyakarta baru melaksanakannya tahun 1984) memperkokoh dasar hukum perwakafan, khususnya perwakafan tanah milik. Pasal 14 (1) huruf b, undang-undang tersebiut menyatakan:
“Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:......b. untuk keperluan perbiadatan dan keperluan keperluan lainnya, sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
UUPA pasal 49 menyangkut hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial yang berbunyi:
- Hak milik tanah badan-badan keuangan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diikuti dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
- Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai di maksud pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai.
- Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.
- Tindak lanjut dari pasal 14 dan 49 di atas dikeluarkanlah Peraturan Menteri Dalam Negri nomor 6 tahun 1977 tentang tata pendaftaran tanah mengenai perwakafan tanah milik.
- Peraturan Menteri dalam Negeri tersebut di buat sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10/1961 tentang pendaftaran tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan Pelaksanaan PP No. 28/1977 dibuat oleh Menteri Agama, dengan keluarnya peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 yang sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1977 di atas.
Setelah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1978 dikeluarkan, untuk pelaksanaannya lebih lanjut dikeluarkanlah intruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 yang masing-masing bernomor 1 tahun 1978. Intruksi Bersama tersebut di susul dengan Intruksi Menteri Agama Nomor 3 tahun 1979 tentang petunjuk pelaksanaan keputusan Menteri Agama Nomor 73/1978 tentang pendelegasian wewenang kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi/ setingkat untuk mengangkat/memberhentikan setiap Kepala kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Intruksi Mnteri agama Nomor 3 tahun 1979 di atas, antara lain memuat: Pengangkatan PPAIW, Pendelegasian wewenang Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Kepada kepala bidang Urusan Agama Islam serta mengintruksikan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama untuk melaporkan pelaksanaan intruksi tersebut kepada Dirjen Bimas Islam dan urusan Haji.
Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia adalah:
- Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 masalah wakaf dapat kita ketahui pada pasal 5, pasal 14 ayat 1 dan pasal 49.
- Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dikeluarkan untuk memberi jaminan kepastian mengenai tanah wakaf serta pemanfaatanya sesuai dengan tujuan wakif.
- Inpres No. Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan pengembangan dan penyempurnaan terhadap materi perwakafan yang ada pada perundang-undangan sebelumnya mengenai obyek wakaf (KHI Pasal 215 ayat 1), sumpah nazhir (KHI pasal 219 ayat 4), jumlah nazhir (KHI pasal 219ayat 5), perubahan benda wakaf (KHI pasal 225), peranan majelis ulama dan camat (KHI pasal 219 ayat 3,4; pasal 220 ayat 2;pasal 221 ayat 2).
- Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dalam pasal 42 menjelaskan bahwa dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf secara produktif, nazhir dapat bekerja sama dengan pihak ketiga seperti Islamic Development Bank (IDB), Investor, Perbankan Syariah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan lain-lain. Agar terhindar dari kerugian, nazhir harus menjamin kepada asuransi syariah. Hal ini dilakukan agar seluruh kekayaan wakaf tidak hilang atau terkurangi sedikitpun. Upaya supporting (dukungan) pengelolaan dan pengembangan wakaf juga dapat dilakukan dengan memaksimalkan peran UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang mendukung pemberdayaan wakaf secara produktif.
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 13 14 berisi tentang masa bakti nazhir, pasal 21 berisi tentang benda wakaf benda wakaf bergerak selain uang, pasal 39 berisi tentang pendaftaran sertifikat tanah wakaf.
Syarat dan Rukun Wakaf
Syarat-syarat wakaf yang bersifat umum adalah sebagai berikut:
- Barang yang diwakafkan tidak boleh dibatasi waktu pemanfaatannya, akan tetapi harus bersifat selama-lamanya.
- Tanjiz (kelestarian), maka tidak sah pewakafan dengan menggantungkan pada terjadinya sesuatu. Misalnya, “saya mewakafkan kepada Zaid bila telah tiba awal bulan”. Memang, adalah sah menta’liqkan wakaf dengan masa kematian. Misalnya “saya wakafkan rumahku kepada orang-orang fakir setelah saya meninggal dunia”.
- Perwakafan tidak berupa barang yang terlarang artinya yang diharamkan, maka tidak sah wakaf untuk membangun gereja karena untuk beribadah orang Nasrani. Menyebutkan masyrofnya (mauquf ,alaih), menurut Imam Syafi’i (Kamal, 2003: 200).
Adapun unsur-unsur atau rukun wakaf menurut sebagian besar ulama dan fiqih Islam, yaitu ada 5 rukun wakaf yang akan diuraikan di bawah ini:
1. Orang yang Berwakaf (wakif)
Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkan cakap bertindak dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria, yaitu: merdeka, berakal sehat, dewasa (baligh), serta tidak berada dalam pengampuan (boros/ lalai).
Adapun berdasarkan pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, wakif meliputi:
- Perorangan adalah apabila memenuhi persyaratan dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan pemilik sah harta benda wakaf
- Organisasi adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
- Badan hukum adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum yang bersangkutan.
2. Barang yang Diwakafkan (Mauquf)
Mauquf dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama dipergunakan dan hak milik wakif murni. Benda yang diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi benda tersebut mempunyai nilai guna, merupakan benda tetap maupun benda bergerak, harus jelas (diketahui) ketika terjadi akad wakaf, serta benda tersebut harus benar-benar telah menjadi milik tetap si wakif ketika terjadi akad wakaf.
Harta benda wakaf berdasarkan pasal 16 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 meliputi:
a. Benda tidak bergerak. Antara lain:
- hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar
- bangunan atau bagian bangunan yang terdiri atas bangunan yang terdri di atas sebagian dimaksud pada poin diatas.
- tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
- hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Benda bergerak adalah harta yang tidak bisa habis karena dikosumsi, meliputi: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti mushaf, buku dan kitab.
3. Mauquf ‘alaih
Mauquf ‘alaih tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah. Selain tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, mauquf ‘alaih harus jelas apakah untuk kepentingan umum seperti untuk mendirikan masjid ataukah untuk kepentingan sosial. Apabila ditujukan kepada kelompok orang-orang tertentu, harus disebutkan nama atau sifat mauquf ‘alaih secara jelas agar harta wakaf segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Di dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, disebutkan dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda hanya dapat diperuntukan bagi:
- sarana kegiata ibadah
- sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
- bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa
- kemajuan dan peningkatan ekonomi umat lainnya dan / atau
- kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan perundang undangan.
4. Irar Wakaf (sighat)
Sighat ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Dan setiap pernyatan atau ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Pejabat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1979. Maka Kepala Urusan Kantor Agama (KUA) ditunjuk sebagai PPAIW, untuk administrasi perwakafan diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan.
5. Pengelola Wakaf (Nazhir)
Nazhir wakaf adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut. Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi nazhir selama ia mempunyai hak melakukan tindakan hukum.
Yang berhak menentukan nazhir wakaf adalah wakif. Mungkin ia sindiri yang menjadi nazhir, mungkin pula menyerahkan pengawasan wakafnya kepada orang lain, baik perseorangan maupun organisasi. Agar perawatan dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya, pemerintah berhak campur tangan mengeluarkan berbagai aturan mengenai perwakafan, termasuk pengawasannya.
Dalam hal pengawasan wakaf perseorangan diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
- Beragama Islam
- Telah baligh atau dewasa
- Dapat dipercaya
- Mampu secara jasmani dan rohani menyelenggarakan urusan-urusan harta wakaf
- Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum (tidak gila, dan sebagainya).
Kesimpulan
Wakaf adalah menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau Nazhir (pemelihara atau pengurus wakaf) atau kepada suatu badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya dipergunakan sesuai dengan ajaran Islam. Benda yang diwakafkan tidak lagi menjadi hak milik yang mewakafkan dan bukan pula milik tempat menyerahkan, tetapi menjadi milik Allah.
Di Indonesia, wakaf sudah dilakukan bersamaan dengan datangnya Islam itu sendiri. Wakaf mulai dituangkan dalam peraturan pemerintahan sejak tahun 1905. Namun, sejarah panjang peraturan tentang wakaf ini belum ada yang membahas atau mengatur mengenai wakaf secara menyeluruh hingga diundangkannya Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Di sana diatur secara mendelail berbagai hal yang berkaitan dengan wakaf dan tentu saja mengenai unsur-unsur atau rukun wakaf juga dibahas di dalamnya. Adapun unsur-unsur wakaf tersebut meliputi: wakif (orang yang berwakaf), mauquf (barang yang diwakafkan), mauquf alaih (tujuan dari wakaf), sighat (ikrar/ akad wakaf), dan nadzir (pengelola wakaf). Pada masing-masing rukun tersebut juga mempunyai syarat-syarat atau ketentuan yang harus dipenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Munawir, Ahmad Warson, 2002 Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif.
Qahaf, Munzir , 2005, Menejemen Wakaf Produktif, Jakarta: Pustaka Kausar Grup.
Departeman Agama RI, 2007, Fiqh Wakaf. Jakarta: Derektorat Pembinaan Wakaf.
Basir, Ahmad Azhar, 1987, Wakaf Izarah dan Syirkah, Bandung: Al-Ma,arif.
Departemen Agama Republik Indonesia, 1998, Al-quran dan terjemah, Surabaya: Alhidayah.
Anshori, Abdul Ghofur, 2006, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media.
As’ad, Aliy, Terjemah Fatkhul muin, Kudus: Menara kudus
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007, Paradigma Baru wakaf di Indonesia, Jakarta: Derektorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam.
Departemen Agama RI, 2007, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia. Jakarta: Derektorat Pemberdayaan Masyarakat Islam dan Derektorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam.
Kamal, Mustafa, et al., 2003, Fikih Islam, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.
Tag :
CONTOH MAKALAH
0 Komentar untuk "MAKALAH; WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA"